Minggu, 11 Desember 2016

Melawan Ekonom Taipan dengan Kapitalisasi Dana Umat

Indonesia adalah negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Namun ironisnya, Pereokonomian di Indonesia dikuasai oleh minoritas. Bagaimana cara agar kondisi ini berubah?

Indra N. Fauzi, Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PW. Muhammadiyah Jawa Timur menjelaskan dalam seminar yang didadakan aula kantor Bank Indonesia Perwakilan Jawa Timur pada Sabtu (29/11/2016) bahwa kita selaku umat muslim yang merupakan mayoritas sebenarnya bisa mengubah keadaan ini. Caranya ialah dengan mengkapitalisasi dana umat.

Umat Islam Indonesia jumlahnya sangat besar, tentunya memiliki dana yang sangat besar. Sayangnya, dana umat Islam yang selama ini disimpan di bank justru dipakai oleh para ekonom taipan untuk mengembangkan perusahaan mereka.

Umat Islam sebenarnya memiliki kemampuan yang sama dengan mereka untuk mengembangkan perekonomian, akan tetapi terkendala oleh minimnya dana. Maka dari itu, perlu dilakukan kapitalisasi dana umat.

Oleh karena itu, pak Indra berharap Bank Indonesia bisa memfasilitasi agar tercapay kapatilasisasi dana umat ini.



Surabaya, 9 Desember 2016


Sabtu, 26 November 2016

Pentingnya Akad dalam Ekonomi Islam

Saudaraku, barusan saya mengikuti workshop Pasar Modal Syariah di kampus B Universitas Air langga (Unair).

Alhamdulillah banyak hal yang saya dapatkan, namun mungkin sedikit sekali apa yang ingin saya share di tulisan ini mengenai isi workshop tadi.

Workshop ini dihadiri oleh perwakilan dari Bursa Efek Indonesia (BEI),  dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Inonesia (DSN-MUI), dan juga dari MNC sekuritas.

Baiklah, di sini saya hanya akan menuliskan tentang pentingnya akad dalam ekonomi Islam yang disampaikan oleh perwakilan MUI.

 Keberadaan akad, kata pemateri tersebut, sangatlah penting. Pekerjaan yang awalnya haram bisa menjadi halal. Maka dari itulah, akad menjadi tolak ukur apakah sesuatu itu halal atau tidak.

Dia membuat analogi seperti ini. Misalnya ada seorang laki-laki pada malam hari membawa seorang perempuan ke hotel, apakah itu boleh? Jawabannya boleh, asalkan sebelum dibawa ke dalam hotel dilaksanakan akad nikah dulu. Kalau tidak ada akad nikah, maka tidak boleh alias haram.

 Ketika sudah dilakukan akad nikah, lalu masuk ke hotel dan melakukan hubungan badan serta mengasilkan keturunan, maka semua yang dilakukan akan memperoleh pahala dan keberkahan dari Allah.

Namun sebaliknya, apabila itu semua dilakukan tanpa proses akad nikah terlebih dahulu, maka setiap detik apa yang dilakukan mendapatkan dosa dan laknat dari Allah.

Memang yang dilakukan sama, namun karena perbuatan zina tidak didahului akad, maka azab Allah yang akan turun.

Demikian juga dalam transaksi ekonomi.  Akad adalah perkara yang sangat penting. Ia menentukan apakah yang dilakukan merupakan perbuatan kebajikan ataukah justru kejahatan.

Dalam upaya membeli suatu barang misalnya, dalam ekonomi syariah ada pembiayaan murabahah. Nah, dalam ekonomi konvensional menggunakan sistem kredit, bukan murabahah. Maka, hal itu menimbulkan perbedaan hukum dan hasil, walau apa yang dilakukan dan didapatkan terkesan sama.

Hal inilah yang menjadi jawaban ketika ada yang mengatakan, “bank konvensional dan bank Islam sama saja”. Jawaban yang dimaksud adalah, tetap beda. Bank Syariah dan bank konvensional sangat berbeda. Kalau ditemukan terdapat transaksi yang memiliki kemiripan, tetap tidaklah sama. Perbedaannya sangat besar, antara haram dan halal.

Jadi kesimpulannya, keberadaan akad dalam ekonomi Islam itu sangat penting dan amat menentukan. Halal atau haram.



Surabaya, 27 November 2016

Senin, 14 November 2016

Penjualan

Apa yang ada dalam pikiran kita ketika mendengar kata penjualan? Mungkin yang tergambar adalah sebuah pasar yang di dalamnya terdapat banyak barang kebutuhan. 

Lalu di sana juga terdapat seseorang yang bertindak sebagai penjual dan ada juga pembeli. Terjadilah tawar menawar di antara mereka. Penjual menjual barang daganganya dan  pembeli membeli barang tersebut.

Ya, begitulah penjualan. Tidak ada yang salah dengan pemahaman di atas. Namun Dr. Faisal Afiff dalam bukunya “Psikologi Penjualan” menjelaskan bahwa inti dari penjualan adalah ‘membujuk’ dan ‘meyakinkan’.  Sehingga, penjualan tidak harus terjadi di pasar. Pun, tidak harus ada uang dan barang.

Dalam buku tersebut ia mencontohkan bahwa orang yang mengajak temannya pergi ke bioskop juga bisa disebut sebagai aktivitas penjualan. Saat proses mengajak, dia berusaha membujuk dan meyakinkan temannya agar ikut nonton. Kalau dia berhasil membuat temannya pergi ke bioskop, berarti dia telah berhasil melakukan suatu penjualan.

Jadi, kita semua adalah penjual. Karena hampir setiap hari kita berusaha membujuk dan meyakinkan orang lain. Namun pak Faisal menjelaskan walau kita semua adalah penjual, ternyata tidak semua orang dapat mencari nafkah dengan berjualan. Artinya, tidak semua aktivitas penjualan bisa menghasilkan uang.

Baiklah, akhirnya, inilah kesimpulan pak Faisal  terkait pengertian menjual.

“Menjual berarti dapat meyakinkan gagasan kita pada orang lain untuk melakukannya”.


Semoga bermanfaat.                                                                                                                                                                                       



Surabaya, 6 Mei  2016





Rabu, 18 Mei 2016

Sistem Ekonomi Islam vs Sistem Ekonomi Kapitalis dan Sosialis

Islam adalah agama yang sempurna. Semua hal dalam hidup ini diatur oleh Islam. Mulai dari hal kecil seperti tata cara makan sampai perkara besar semisal mengatur negara. Hal ini menunjukkan bahwa Islam bukan sekedar agama dalam pengertian sempit, namun Islam adalah sistem yang mengatur seluruh aspek dalam kehidupan.

Salah satu aspek dalam kehidupan yang diatur oleh Islam adalah dunia ekonomi. Maka tidak mengherankan jika ada istilah ekonomi Islam yang memiliki konsep berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme. 

Dalam ekonomi Islam, landasan yang dipakai adalah akidah Islam. Sehingga sumber ilmu ekonomi Islam bukan hanya panca indera dan akal saja, melainkan juga ilmu-ilmu yang datang datang Allah dan Rasul-Nya (wahyu). 

Dr. Ugi Suharto, mahasiswa ekonomi terbaik di IIUM pada 1990 dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Islamia menjelaskan bahwa dalam ekonomi Islam, panca indera diakui sebagai sumber ilmu, sehingga ilmu-ilmu yang berasal dari observasi dan penelitian manusia tidaklah ditolak, semisal hukum penawaran dan permintaan (law of supply and demand). 

Begitu juga dengan akal yang sehat juga diterima sebagai sumber ilmu, sehingga ilmu  seperti statistika, matematika ekonomi, ekonometrika, dan lain-lain juga dipakai.

Namun dalam ekonomi Islam,  ilmu yang berasal dari nabi juga diterima; seperti larangan riba, perintah membayar zakat, dan lain-lain. Hal itu dikarenakan, umat Islam percaya bahwa balasan di akhirat lebih berharga dan pasti, sementara dunia ini hanyalah medan ujian. Umat Islam juga percaya bahwa malaikat akan selalu mencatat setiap perilaku ekonomi yang dia lakukan, sehingga seorang muslim yang baik akan memiliki economic behavior (perilaku ekonomi) yang lebih baik daripada orang yang tidak percaya bahwa malaikat mencatat apa yang dia lakukan. 

Karena ekonomi Islam juga menerima wahyu sebagai sumber ilmu, maka ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang berdiri tegak berhadapan dengan sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis yang keduanya terbukti memiliki banyak kerapuhan. Sistem ekonomi Islam memiliki perbedaan yang mendasar dengan kedua sistem ekonomi tersebut.

Pada ekonomi kapitalis, hak kepemilikan harta merupakan sesuatu hal yang mutlak, tanpa memandang cara mendapatkan maupun penggunaannya. Setiap orang diberi kebebasan penuh dalam menumpuk kekayaan. Hal ini mengakibatkan tidak adanya rasa peduli antar sesama dan akhirnya terjadi ketimpangan dalam masyarakat. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

Kedzaliman yang ditimbulkan dalam sistem ekonomi kapitalis memicu lahirnya sistem ekonomi sosialis. Namun alih-alih memberikan solusi, sistem ekonomi yang dicetuskan oleh Karl Marx ini justru menimbulkan masalah baru. Dalam ekonomi sosialis, kepemilikan harta dikuasai sepenuhnya oleh negara sedangkan kepemilikan individu tidak diakui. Hal ini mengakibatkan hilangnya kebebasan individu dalam memiliki harta dan kekayaan. Dampak lainnya adalah, hasrat dan fitrah manusia dalam berkreasi dan beraktivitas ekonomi dibunuh oleh sistem ekonomi ini.

Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang memberikan kebebasan sebebas bebasnya dalam menumpuk kekayaan, dalam Islam seseorang memang boleh menjadi orang kaya namun dibatasi agar tidak terjadi kesenjangan yang teramat jauh dengan orang miskin. Di antara bentuk pembatasan tersebut misalnya, ada tiga jenis sumber ekonomi yang tidak diboleh dikuasai perseorangan, melainkan harus dimiliki dan dikuasai oleh negara. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api” (HR.  Ibnu Majah No.2463). Dalam konteks sekarang, ketiga jenis sumber ekonomi ini tersebut bisa bermakna sungai,  lautan, danau,  hutan, minyak bumi, gas alam, batu bara, tambang jalan, jembatan, bukit, pulau dan sebagainya.

Ekonomi Islam juga berbeda dengan ekonomi sosialis yang berupa menghapus istilah kaya dan miskin. Dalam Islam, seseorang tetap diberi kebebasan untuk menjadi orang kaya. Namun seseorang yang kaya (di mana hartanya mencapai nisab) memiliki kewajiban membayar zakat yang diperuntukkan untuk si miskin. Dengan cara ini, akan timbul dalam diri orang kaya rasa sosial dan empati yang tinggi. Sehingga semakin kaya seseorang, semakin besar jasanya dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Semakin banyak orang membayar zakat, maka jumlah orang miskin semakin berkurang bahkan tidak ada lagi yang berpredikat miskin. Hal itu terbukti  pada era khalifah Umar bin Abdul Aziz, di mana semua masyarakat sudah tidak ada orang miskin yang layak menerima zakat.

Dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, sama-sama menjunjung tinggi paham materialisme dalam setiap aktivitas ekonomi. Sehingga keberadaan materi (uang/harta) menjadi tolak ukur yang paling utama dan mengabaikan aspek lainnya. Ukuran kebahagiaan diukur dengan banyak sedikitnya harta yang dimiliki. 

Sementara dalam sistem ekonomi Islam, lebih menekankan kepada ekonomi kebahagiaan (sa’adah) dan bukan menekankan pada ekonomi kekayaan. Orang miskin bisa bahagia sebagaimana orang kaya, karena materi (uang/harta) bukanlah tujuan utama dalam hidup ini.

Sistem ekonomi Islam memandang dunia sebagai perantara dalam mencapai tujuan sebenarnya, yaitu akhirat. Sehingga setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan bertujuan mencari falah (keberuntungan) yang sebesar-besarnya meskipun hanya menghasilkan keuntungan duniawi yang terkecil (M. Nur Rianto Al-Arif, Dasar-dasar Ekonomi Islam, hal. 77). 

Dari keterangan di atas, menunjukkan bahwa  sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang seharusnya diterapkan, terutama oleh kaum muslimin. Karena baik ekonomi kapitalis dan sosialis memiliki banyak kerapuhan dalam banyak aspek dan menimbulkan masalah besar dalam hidup ini.


Surabaya, 19 Mei 2016

Minggu, 15 Mei 2016

Pemasaran

Apa yang kita pahami ketika mendengar kata pemasaran? Mungkin kita langsung berpikiran bahwa pemasaran berarti menjual, mengiklankan, atau menawarkan suatu barang kepada orang lain.

Benarkah pengertian pemasaran seperti demikian? Jawabannya benar, tapi pengertian semacam ini adalah pengertian yang kuno. Di zaman modern, pemasaran tak lagi bermakna seperti itu. Pemasaran edisi modern lebih kompleks dari sekedar menjual, mengiklankan atau menawarkan suatu barang. Ketiga aktivitas tersebut hanyalah komponen kecil dalam aktivitas pemasaran.

Lantas, apa pengertian pemasaran edisi modern?

Menurut Philip Kotler, penulis yang terkenal di dunia dalam dunia pemasaran, menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Principles of Marketing”  bahwa pemasaran dalam pemahaman modern adalah memuaskan kebutuhan pelanggan.

Pemasaran bermakna suatu proses di mana perusahaan menciptakan nilai bagi pelangggan dan membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan, dengan tujuan menangkap nilai dari pelanggan sebagai imbalannya.

Dari sinilah kemudian bisa dipahami bahwa penjualan dan iklan hanyalah bagian dari pemasaran. Keduanya hanyalah puncak dari gunung es pemasaran.

Ya, begitulah.


Surabaya, 27 Januari  2016




Investasi

Saya ingin berbagi pengalaman tentang investasi dalam hidup saya. Sungguh, pengalaman ini sangatlah kecil jika dibandingkan dengan mereka-mereka yang sudah berinvestasi dalam jumlah yang sangat besar. Namun saya ingin tetap berbagi di sini, dengan harapan ada yang terinspirasi. Tapi harapan lainnya adalah agar saya semakin termotivasi untuk melakukan investasi.

Ceritanya begini, dulu saya – alhamdulillah - pernah mendapat beasiswa. Karena saya waktu itu baru menyelesaikan membaca buku berjudul “Guru Goblok Ketemu Murid Goblok” tulisan Imam Supriyono, saya bersemangat sekali untuk menggunakan uang beasiswa itu untuk berinvestasi.

Singkat cerita, akhirnya uang dari beasiswa itu saya gunakan untuk membeli 2 ekor anak sapi yang sangat kecil. Kemudian kedua ekor anak sapi itu saya titipkan di dua bibi saya. Memang, selain berniat investasi saya juga ingin membantu mereka berdua. Karena dengan mengembalakan anak sapi saya maka mereka juga ikut merasakan manfaat dari anak sapi tersebut.

Ada teman saya yang bilang, beasiswa kok dibuat beli sapi, bukannya dibuat biaya kuliah atau beli buku. Saya pun menjawab, bahwa hasil investasi anak sapi saya ini akan saya gunakan untuk biaya kuliah S2 atau S3 nantinya. Dan, alhamdulillah, beberapa kali bibi saya menjual anak sapi itu, lalu mengambil keuntungannya. Saya pun mengambil juga keuntungan dari penjualan anak sapi itu. Kemudian sisa dari penjualan anak sapi itu dibelikan anak sapi yang baru. Jadi investasi anak sapi tetap berjalan. Alhamdulillah.

Dan alhamdulillah, modal dari pembelian anak sapi itu sudah kembali dan saya pergunakan untuk tambahan biaya kuliah S2 saya. Adapun kegiatan beternak anak sapi tersebut masih tetap berjalan. Coba beasiswa tersebut saya gunakan untuk membayar biaya kuliah tanpa saya investasikan, maka tidak akan ada sisanya. Namun dengan dinvestasikan, alhamdulillah uang dari beasiswa itu masih ada berupa anak sapi. Kelak, bisa jadi saya mengambil lagi keuntungan dari investai tersebut untuk biaya kuliah S2 saya yang belum selesai atau bahkan S3 saya nanti. Amiin.

Alhamdulillah, saya sudah merasakan manfaat dari investasi. Tanpa bersusah payah beternak sapi, saya bisa mendampatkan keuntungan dari beternak sapi. Itu karena saya mempraktekkan investasi. Tapi tentu saja ini terjadi karena pertolongan Allah.

Semoga tulisan ini menginspirasi, minimal untuk diri saya sendiri.



Surabaya, 26 Januari  2016



Berdagang

Pernahkah kita mendengar sebuah penjelasan dari nabi, bahwa 9 dari 10 pintu rizki adalah berbisnis atau berdagang? Kalau kita melihat dalam realita kehidupan, memang demikian adanya. Sungguh benar ucapan Rasulullah Saw, maha benar Allah. Orang-orang terkaya di zaman kini pun berasal dari kalangan pebisnis, bukan pegawai.

Namun tahukah kita bahwa dalam al-Quran Allah menjelaskan bahwa hidup adalah berdagang atau berada dalam aktivitas dagang. Di antara contohnya adalah dalam surat al-Baqarah, juz satu  halaman kedua. Disebutkan bahwa orang-orang kafir adalah jenis manusia yang perdagangan mereka dengan Allah tidak beruntung sehingga mereka dimasukkan ke neraka. Ada juga keterangan bahwa Allah membeli jiwa-jiwa para mujahid yang berperang di jalan Allah. Ini menunjukkan bahwa ada aktivitas membeli dan menjual. Ada keuntungan juga. Ini semua adalah aktivitas dagang.

Jadi bisa dikatakan bahwa kegiatan ekonomi tidak hanya antara manusia dengan manusia, namun juga antara manusia dengan Allah. Kita “menjual” 3 hal kepada Allah (berdasarkan surat al-‘ashr), yaitu iman, amal shaleh, dan kegiatan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Dengan perdagangan ini kita akan mendapat laba yang banyak dan terhindar dari kerugian hidup. Lantas dengan apa Allah ‘membayar’? Allah ‘membayar’ dengan surga-Nya. Subhanallah.

Semoga kita mampu menjadi “pedagang” yang sukses dan memperoleh keuntungan yang besar, sehingga kita akan diganjar dengan surga-Nya. Amin.



Surabaya, 24 Januari  2016












Sabtu, 16 Januari 2016

Alasan Ingin Menjadi Orang Kaya

Banyak orang ingin menjadi orang kaya. Namun banyak juga yang orientasinya salah. Orientasinya hanya bersifat materi dan duniawai. Tidak ada aspek ruhani dan ukhrawi. Padahal Allah menuntun kita untuk meneladani para pahlawan ekonomi semisal 2 sahabat nabi, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf. Mereka kaya, tapi kekayaan mereka digunakan untuk memperjuangkan Islam.

Kita sebagai umat Islam hendaknya juga memiliki spirit itu. Motivasi kita menjadi orang kaya seharusnya benar. Motivasi kita bukan saja karena diri-sendiri atau keluarga. Motivasi dan spirit kita untuk menjadi orang kaya adalah karena Islam, karena agama tercinta ini. Kaya sosial, bukan kaya pribadi. Kaya dermawan, bukan kaya pelit.

Saya pernah mendengar cerita motivasi dari seorang motivator yang berasal dari pesantren entrepeneur. Dia bercerita bahwa tatkala mengisi sebuah acara motivation training, ia bertanya kepada peserta berapa jumlah penghasilan yang ingin mereka dapatkan setiap bulan.
Di antara peserta ada yang menjawab bahwa dia tidak tahu berapa jumlah penghasilan yang ingin dia dapatkan. Tapi yang jelas dia ingin mendirikan sebuah pesantren khusus anak yatim. Mereka semua digratiskan dalam menuntut ilmu. 

Subhanallah. Jadi peserta training itu ingin menjadi orang kaya, tapi hartanya dia ingin gunakan untuk menghidupi anak-anak yatim. Dia tidak ingin menjadi orang egois yang ingin menikmati kekayaannya sendirian.

Bagaiaman dengan kita? Apa tujuan kita untuk menjadi orang kaya?


Surabaya, 12 Januari  2016