Islam
adalah agama yang sempurna. Semua hal dalam hidup ini diatur oleh Islam. Mulai
dari hal kecil seperti tata cara makan sampai perkara besar semisal mengatur
negara. Hal ini menunjukkan bahwa Islam bukan sekedar agama dalam pengertian
sempit, namun Islam adalah sistem yang mengatur seluruh aspek dalam kehidupan.
Salah
satu aspek dalam kehidupan yang diatur oleh Islam adalah dunia ekonomi. Maka
tidak mengherankan jika ada istilah ekonomi Islam yang memiliki konsep berbeda
dengan sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme.
Dalam
ekonomi Islam, landasan yang dipakai adalah akidah Islam. Sehingga sumber ilmu
ekonomi Islam bukan hanya panca indera dan akal saja, melainkan juga ilmu-ilmu
yang datang datang Allah dan Rasul-Nya (wahyu).
Dr.
Ugi Suharto, mahasiswa ekonomi terbaik di IIUM pada 1990 dalam Jurnal Pemikiran
dan Peradaban Islam, Islamia menjelaskan bahwa dalam ekonomi Islam, panca
indera diakui sebagai sumber ilmu, sehingga ilmu-ilmu yang berasal dari
observasi dan penelitian manusia tidaklah ditolak, semisal hukum penawaran dan
permintaan (law of supply and demand).
Begitu
juga dengan akal yang sehat juga diterima sebagai sumber ilmu, sehingga
ilmu seperti statistika, matematika
ekonomi, ekonometrika, dan lain-lain juga dipakai.
Namun
dalam ekonomi Islam, ilmu yang berasal
dari nabi juga diterima; seperti larangan riba, perintah membayar zakat, dan
lain-lain. Hal itu dikarenakan, umat Islam percaya bahwa balasan di akhirat
lebih berharga dan pasti, sementara dunia ini hanyalah medan ujian. Umat Islam
juga percaya bahwa malaikat akan selalu mencatat setiap perilaku ekonomi yang
dia lakukan, sehingga seorang muslim yang baik akan memiliki economic
behavior (perilaku ekonomi) yang lebih baik daripada orang yang tidak
percaya bahwa malaikat mencatat apa yang dia lakukan.
Karena
ekonomi Islam juga menerima wahyu sebagai sumber ilmu, maka ekonomi Islam
merupakan sistem ekonomi yang berdiri tegak berhadapan dengan sistem ekonomi
kapitalis dan sistem ekonomi sosialis yang keduanya terbukti memiliki banyak
kerapuhan. Sistem ekonomi Islam memiliki perbedaan yang mendasar dengan kedua
sistem ekonomi tersebut.
Pada
ekonomi kapitalis, hak kepemilikan harta merupakan sesuatu hal yang mutlak,
tanpa memandang cara mendapatkan maupun penggunaannya. Setiap orang diberi
kebebasan penuh dalam menumpuk kekayaan. Hal ini mengakibatkan tidak adanya
rasa peduli antar sesama dan akhirnya terjadi ketimpangan dalam masyarakat. Yang
kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Kedzaliman
yang ditimbulkan dalam sistem ekonomi kapitalis memicu lahirnya sistem ekonomi
sosialis. Namun alih-alih memberikan solusi, sistem ekonomi yang dicetuskan
oleh Karl Marx ini justru menimbulkan masalah baru. Dalam ekonomi sosialis,
kepemilikan harta dikuasai sepenuhnya oleh negara sedangkan kepemilikan
individu tidak diakui. Hal ini mengakibatkan hilangnya kebebasan individu dalam
memiliki harta dan kekayaan. Dampak lainnya adalah, hasrat dan fitrah manusia
dalam berkreasi dan beraktivitas ekonomi dibunuh oleh sistem ekonomi ini.
Berbeda
dengan sistem ekonomi kapitalis yang memberikan kebebasan sebebas bebasnya
dalam menumpuk kekayaan, dalam Islam seseorang memang boleh menjadi orang kaya
namun dibatasi agar tidak terjadi kesenjangan yang teramat jauh dengan orang
miskin. Di antara bentuk pembatasan tersebut misalnya, ada tiga jenis sumber
ekonomi yang tidak diboleh dikuasai perseorangan, melainkan harus dimiliki dan
dikuasai oleh negara. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda, “Kaum
muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api” (HR. Ibnu
Majah No.2463). Dalam konteks sekarang, ketiga jenis sumber ekonomi
ini tersebut bisa bermakna sungai,
lautan, danau, hutan, minyak bumi, gas alam, batu bara, tambang jalan, jembatan, bukit, pulau
dan
sebagainya.
Ekonomi
Islam juga berbeda dengan ekonomi sosialis yang berupa menghapus istilah kaya
dan miskin. Dalam Islam, seseorang tetap diberi kebebasan untuk menjadi orang
kaya. Namun seseorang yang kaya (di mana hartanya mencapai nisab) memiliki
kewajiban membayar zakat yang diperuntukkan untuk si miskin. Dengan cara ini,
akan timbul dalam diri orang kaya rasa sosial dan empati yang tinggi. Sehingga
semakin kaya seseorang, semakin besar jasanya dalam upaya mengentaskan
kemiskinan. Semakin banyak orang membayar zakat, maka jumlah orang miskin
semakin berkurang bahkan tidak ada lagi yang berpredikat miskin. Hal itu
terbukti pada era khalifah Umar bin
Abdul Aziz, di mana semua masyarakat sudah tidak ada orang miskin yang layak
menerima zakat.
Dalam
sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, sama-sama menjunjung tinggi paham
materialisme dalam setiap aktivitas ekonomi. Sehingga keberadaan materi
(uang/harta) menjadi tolak ukur yang paling utama dan mengabaikan aspek
lainnya. Ukuran kebahagiaan diukur dengan banyak sedikitnya harta yang
dimiliki.
Sementara
dalam sistem ekonomi Islam, lebih menekankan kepada ekonomi kebahagiaan (sa’adah)
dan bukan menekankan pada ekonomi kekayaan. Orang miskin bisa bahagia
sebagaimana orang kaya, karena materi (uang/harta) bukanlah tujuan utama dalam
hidup ini.
Sistem
ekonomi Islam memandang dunia sebagai perantara dalam mencapai tujuan
sebenarnya, yaitu akhirat. Sehingga setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan
bertujuan mencari falah (keberuntungan) yang sebesar-besarnya meskipun
hanya menghasilkan keuntungan duniawi yang terkecil (M. Nur Rianto Al-Arif, Dasar-dasar
Ekonomi Islam, hal. 77).
Dari
keterangan di atas, menunjukkan bahwa
sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang seharusnya
diterapkan, terutama oleh kaum muslimin. Karena baik ekonomi kapitalis dan
sosialis memiliki banyak kerapuhan dalam banyak aspek dan menimbulkan masalah
besar dalam hidup ini.
Surabaya,
19 Mei 2016