Sabtu, 29 November 2014

Asuransi Islam? Apa Itu?

Ada yang masih asing dengan istilah asuransi ataupun asuransi Islam? Tenang saja, kali ini  saya akan sedikit menukil penjelasan tentang asuransi dan asuransi Islam dari sebuah buku berjudul “Lembaga Keuangan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis” yang ditulis oleh Nurul Huda dan Mohammad heykal.

Diterangkan dalam buku tersebut bahwa kata suransi bisa berasal dari kata Belanda, Parancis, Latin, atau Inggris. Kalau berasal dari bahasa Belanda, maka asuransi disebut “assurantie” yang terdiri dari asal kata “assaradeur” yang berarti penanggung dan “geassureede” yang berarti tertanggung.

Kalau dalam bahasa Prancis disebut “assurance”yang berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi. Adapun dalam bahasa Latin disebut “assecurare” yang berarti meyakinkan orang.

Bagaimana dengan bahasa Inggris? Dalam bahasa ini, asuransi ada dua macam; yaitu “insurance” dan “assurance”. Kalau “insurance”  berarti menanggung sesuatu yang mungin atau tidak mungkin terjadi. Kalau “assurance” bermakna menanggung sesuatu yang pasti terjadi.

Itu kan pengertian secara etimologi atau bahasa? Lantas bagaimana dengan pengertian asuransi secara istilah? Nah, dalam buku pengertian asuransi langsung dinukilkan dari Undang-Undang milik Indonesia. Yang pertama diambil dari UU No. 2 tahun 1992, dan yang kedua diambil dari Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246.

Menurut UU No. 2 tahun 1992, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Wah, pengertian menurut UU ini agak ribet dan panjang juga ya. Kalau menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 gimana? Menurut-“nya”, Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian yang dengan perjanjian tersebut penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya, karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.

Hm..panjang juga ya..Masih belum paham?

Tenang, penulis buku tersebut kemudian menyimpulkan bahwa secara umum, pengertian asuransi adalah perjanjian antara penanggung (dalam hari ini perusahaan asuransi atau reasuransi) dengan tertanggung (peserta suransi) di mana penanggung menerima pembayaraan premi dari tertanggung. Dan penanggung berjanji membayarkan sejumlah uang atau dana pertanggung manakala: (1) Mengalami kerugian, kerusakan, atau hilangnya suatu barang atau kepentingan yang dipertanggungkan karena suatu peristiwa yang tidak pasti. (2) Berdasarkan hidup atau hikangnya nyawa seseorang.

Masih panjang juga ya. Tenang, tenang. Si penulis buku masih memberikan pengertian yang lebih simpel. Ia mengatakan bahwa asuransi adalah perjanjian peralihan resiko, pihak penanggung mengambil alih resiko tertanggung, dan sebagai kontraprestasinya tertanggung berkewajiban membayar premi.

Lantas kalau asuransi Islam itu apa?

Adapun asuransi dalam islam berasal dari bahasa Arab; yaitu dari kata at-ta’min, takaful, tadhamun, dan al-istihad. Tapi yang paling populer, kata penulis buku ini,  adalah 3 yang pertama, adapun al-istihad hampir-hampir tidak pernah dikenal (digunakan).

At-ta’min berasal dari kata amana yang memiliki arti perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut. Asuransi dinamakan at-ta’min karena pemegang polis sedikit banyak telah merasa aman setelah mengikatkan dirinya sebagai anggota atau nasabah asuransi. Pengertian at-ta’min yang alain, kata penulis, adalah sseseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan agar pemegang polis atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti rugi terhadap hartanya yang hilang.

Adapun takaful berasal dari kata kafala yang berarti menanggung. Kata kafala ini bisa ditemukan dalam al-Quran; yaitu dalam Ali Imron ayat 44, Thaha ayat 40, al-Qashas ayat 15,  al-Qashash ayat 12, dan an-nahl ayat 21.

Penulis kemudian menukil dari penulis lain yang bernama Dewi, bahwasanya apabila kita memasukkan asuransi takaful ke dalam lapangan hidup muamalah, maka takaful dalam arti muamalah  mengandung makna saling menanggung resiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko masing-masing.

Selain disebut a-ta’min dan takaful, asuransi Islam dinamai juga tadhamun. Tadhamun adalah solidaritas atau disebut juga saling menanggung hak atau jewajiban yang berbalasan.

Ada lagi yang belum disebutkan dan memang tidak populer dan hampir tidak digunakan di kalangan masyarakat, yaitu al-istihad. Perlu tahu nggak? Perlu lah. Al-Istihad adalah permohonan perjanjian, karena para nasabah asuransi Islam pada dasarnya dan dalam praktiknya adalah mengajukan permohonan untuk saling menjamin di antara sesama anggota dengan melalui perantaraan asuransi.

Di akhir tulisannya mengenai pengertian asuransi dan suransi Islam ini, penulis kemudian menyimpulkan bahwa semua  bentuk kata, pengertian, dan tujuan dari semua kata itu sama. Menurutnya, yang dimaksud dengan asuransi Islam adalah asuransi yang sumber huku, akad, jaminan (resiko), pengelolaan dana, investasi, kepemilikan, dan lain sebagainya berdasarkan atas nilai dan prinsip syariah.

Namun tidak cukup di situ, sang penulis kemudian menukilkan definisi asuransi Islam yang dikeluarkan oleh Dewan Islam Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Diterangkan bahwa asuransi Islam (ta’min, takaful, dan tadhammun) adalah usaha saling melindungi dan saling menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad pertukaran yang sesuai dengan syariah.

Hm..baiklah, semoga apa yang saya nukilkan ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.


Surabaya, 30 November 2014


Rabu, 26 November 2014

Perbedaaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvesional

Saudaraku, kali ini saya akan menuliskan tentang perbedaan atau perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional. Materi ini saya ambil dari buku berjudul “Akuntansi Keuangan Syariah” yang ditulis oleh Rifki Muhammad.

Sebenarnya, dalam buku yang diterbitkan oleh P3EI Press pada halaman 64-65 ini terdapat 16 perbedaan. Namun saya hanya akan menyoroti beberapa perbedaan yang menurut saya sangat penting. Nggak apa-apa ya :)

Yang pertama adalah konsep. Ini yang paling penting menurut saya. Konsep antara asuransi syariah dan asuransi konvensional sungguh berbeda. Kalau dalam asuransi konvensional, yang dimaksud dengan asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan pergantian kepada tertanggung. Adapun dalam asuransi syariah, yang dimaksud asuransi adalah sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’. Jadi dalam suransi syariah lebih ditekankan konsep tolong-menolong.

Yang kedua adalah asal-asul. Asuransi konvensional berasal dari masyarakat babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun 1668 M di coffe house London berdirilah Lioyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional. Adapun asuransi syariah berasal dari aqillah, yaitu suatu kebiasaan suku arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disahkan langsung oleh Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang di dalam konstitusi pertama di dunia (konstitusi Madinah) yang dibuat langsung Rasulullah.

Yang ketiga adalah sumber hukum. Dalam asuransi konvensional, sumber yang diambil adalah pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alamiyah, dan contoh sebelumnya. Sedangkan asuransi syariah bersumber dari wahyu ilahi. Sumber hukum dalam syariat Islam adalah al-Quran, sunnah, ijma’, fatwa sahabat, istihsan, tradisi, dan mashalih murshalah.

Selanjutnya, dalam asuransi konvesional terdapat maisir, gharar, dan riba. Sedangkan dalam asuransi syariah tidak ada hal-hal semacam itu. Selain itu, dalam asuransi konvensional tidak ada DPS (Dewan Pengawas syariah), sementara dalam suransi syariah hal it diperlukan karena berfungsi sebagai pengawas pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek-praktek muamalah yang bertentangan dengan prinsip syariah.

Nah, yang tidak kalah pentingnya adalah akad. Kalau dalam asuransi konvensional akadnya adalah akad jual beli, sedangkan dalam asuransi syariah tidak. Lantas apa? Akadnya adalah akad tabarru’ dan akad tijarah (akad komersil).

Ada lagi perbedaan yang sangat penting, yaitu mengenai kepemilikan dana. Dalam asuransi konvensional, dana yang terkumpul berasal dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan. Sementara dalam asuransi syariah dana yang terkumpul merupakan milik peserta (shahibul maal). Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) dalam mengelpla dana tersebut. Adapun dari sisi keuntungan juga terdapat perbedaan. Kalau dalam asuransi konvensional seluruh keuntungan diambil oleh perusahaan, sedangkan dalam asuransi syariah keuntungan dibagi dua (bagi hasil) dengan peserta. Berbeda sekali bukan?

Baik, hal penting lainnya yang menurut saya harus ditulis di sini adalah misi dan visi yang dimiliki. Dalam asuransi konvensional, misinya adalah misi ekonomi dan sosial saja. Sedangkan dalam asuransi syariah, misi yang diemban adalah misi aqidah, misi ibadah, misi ekonomi, dan misi pemberdayaan umat.

Hebat kan asuransi syariah jika dibandingkan dengan asuransi konvensional :)



Panceng, 27 November 2014

Selasa, 18 November 2014

Ekonomi Berbasis Madrasah "Melawan" MEA

Saudaraku, hari ahad kemarin saya mengikuti acara stadium general (perkuliahan umum) yang diadakan di STAIL (Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman al-Hakim) Pesantren Hidayatullah Surabaya. Temanya adalah, “Menyongsong Kebangkitan Ekonomi Berbasis Pesantren dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015”. Adapun pembicaranya adalah Dr. Iskandar Ritonga  M.Ag yang merupakan kaprodi ekonomi syariah UINSA (Universitas Negeri Sunan Ampel) Surabaya. Tahukah engkau sadaraku, beliau adalah dosenku di kelas. Beliau mengajar Metodologi Penelitian Ekonomi Islam.

Ia membuka seminar dengan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan MEA. MEA adalah singkatan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN. Adapun anggota ASEAN itu ada 10 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, Filipina, Vietnam, Laos, dan Kamboja.


10 negara ASEAN ini bersepakat bahwa mulai tahun 2015, mereka akan memberlakukan pasar bebas, pasar tunggal di ASEAN. Jadi nanti tidak akan ada lagi kesulitan-kesulitan menjual barang dari satu negara ASEAN ke negara ASEAN lainnya. Tidak akan ada lagi peraturan yang memberatkan dan tak lagi ada biaya khusus yang sangat mahal. Ekspor dan impor dibuat sangat lentur seolah menjual di negara sendiri. Selain itu, tenaga kerja di salah satu negara ASEAN bisa bekerja di negara ASEAN lainnya dengan sangat mudah. Misalnya orang Filipina bekerja di Indonesia, atau sebaliknya.

Pak Ritonga kemudian menjelaskan ciri-ciri MEA. Ada tujuh ciri-ciri MEA, tapi saya hanya 5 ciri-ciri yang sempat saya catat. Yaitu Arus bebas barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus bebas modal, dan tenaga terampil.

Apa saja keunggulan bangsa Indonesia? Nah, pak Ritonga menjawab pertanyaan ini dengan rinci sebagai kesiapan bangsa ini menghadapi MEA. Ada 6 keunggulan bangsa Indonesia menurutnya. Pertama, Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah ruah. Kedua, Memiliki surplus demografi-angkatan kerja produktif. Ketiga, keuntungan Geografis (berada di antara 2 benua, 2 samudera dan berada pada kawasan tropis-hasil hutan, tanaman dan hewan). Keempat, memiliki keragaman budaya. Kelima, memiliki kekayaan pariwisata yang mempesona. Keenam, pertumbuhan dan kemajuan perbankan nasional (termasuk perbankan syariah) yang sangat atraktif di antara negara-negara ASEAN.

Akan tetapi, kata dosen yang berasal dari Sumatera ini, Indonesia juga mengalami persoalan dalam menghadapi MEA. Apa saja persoalan yang dimaksud? Yaitu kualitas dan kapasitas SDM yang masih lebih rendah dibandingkan sebagian besar negara-negara ASEAN. Infrastruktur (sarana dan prasarana) yang masih minim, dan minimnya  jiwa kewirausahaan dalam diri sebagian besar rakyat Indonesia.

Apalagi, lanjut pak Ritonga, saat ini semua negara mendapat tantangan global. Misalnya kecepatan perkembangan iptek, perkembangan informasi yang tak mengenal ruang dan waktu, fleksibilitas dalam berinteraksi, kebutuhan layanan yang profesioanl, perkembangan bisnis yang berorientasi pada networking, mobilitas orang dan ilmu pengetahuan, fleksibilitas dalam berinteraksi, dan kembalinya kehidupan pada bahan yang alami. Maka dari itu, bangsa Indonesia perlu mempersiapkan persiapan khusus menghadapi tantangan ini.

Namun ada prediksi yang mencengangkan tentang masa depan perekonomian Indonesia. Pak Ritonga menyebutkan bahwa prediksi ini dilakukan oleh Mckinsey Global Institution. Menurut Mckinsey Global Institution, pada tahun 2030, Indonesia akan berada pada peringkat ke-7 terbesar dunia. Mengalahkan Jerman dan Inggris. Lalu pada tahun 2050, Indonesia diprediksi mendapat peringkat ke-3 terbesar dunia. Apakah prediksi ini benar? Kita lihat nanti.

Ia kemudian membahas tentang potensi ekonomi berbasis madrasah. Madrasah, katanya, sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki potensi yang besar. Ia mencontohkan pesantren Sidogiri yang memiliki omset triliunan rupiah. Koperasi milik Sidogiri setara atau malah lebih besar dibandingkan dengan sebuah bank nasional. Coba seluruh pesantren bisa seperti itu, bukankah ini potensi besar.

Selanjutnya ia menyoroti berbagai hal dari kelebihan lembaga madrasah dibandingkan dengan sekolah yang lain; termasuk output yang dihasilkan. Misalnya saja tradisi pesantren yang sangat bagus untuk membentuk integritas seorang SDM yang unggul; yaitu mandiri, tolong menolong, disiplin, berani menderita, dan lain-lain.

Jadi, ekonomi berbasis madrasah punya peran yang signifikan untuk kemajuan ekonomi di Indonesia, terutama dalam menghadapi MEA yang sudah di depan mata.

Baiklah, inilah tulisan yang bisa saya sampaikan kali ini. Semoga bermanfaat. Dan semoga saya bisa menghasilkan tulisan yang lebih baik pada waktu yang lain. Amiin.




Panceng, 3 November 2014

Senin, 17 November 2014

Perda Syariah belum Menyentuh Ekonomi Syariah

Saudaraku, pada hari kamis kemarin (6/11/14), saya mengikuti sebuah acara seminar nasional yang diisi oleh orang-orang hebat dalam dunia ekonomi syariah. Ada Syafi’i Antonio, Adiwarman A. Karim, dan lain-lain.  Sponsornya pun tidak main-main, Bank Indonesia. Ya, sponsor utamanya adalah Bank Indonesia. Dan ternyata, agenda Bank Indonesia ini tidak hanya seminar, melainkan juga banyak agenda lainnya seperti lomba-lomba, bazar, dan lain-lain.

Namun kali ini saya hanya akan sedikit mengupas tentang apa yang disampaikan oleh Dr. Syafi’i Antonio. Tema yang ia sampaikan adalah “Ekonomi Syariah sebagai Solusi Permasalahan Ekonomi”.

Pakar ekonomi syariah Indonesia ini menyampaikan bahwa selama bertahun-tahun telah terjadi 32 krisis di dunia ini. Itu artinya ada permasalahan serius yang melanda sistem ekonomi dunia. “What happening with the System?”, katanya.


Sistem ekonomi kapitalisme, lanjutnya, memiliki dampak kerusakan yang luar biasa. Terjadi ketidakmerataan pendapatan dalam perekonomian masyarakat. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin sangat lebar. Walaupun pada satu sisi orang-orang kaya di dunia berjumlah banyak dengan jumlah kekayaan yang sangat melimpah, namun di sisi yang lain teramat banyak orang-orang yang hidup di bawah kemiskinan.

“Dari 131 negara di dunia, 1 dari 5 orang hidup di bawah tekanan kemiskinan”, katanya.

Lantas, apa solusinya? Ekonomi Syariah atau Ekonomi Islam, itulah solusi yang ditawarkan ketua STIE Tazkia ini.

Sebelum menutup seminar, ada ungkapan menarik dan penting yang patut saya taruh di sini dari apa yang ia sampaikan. Ia menyampaikan bahwa perda syariah yang ada di Indonesia belum menyentuh ekonomi syariah. Perda syariah yang ada hanya mengatur larangan minum keras, larangan berzina, dan semisalnya. Bahkan, peraturan yang ada di Aceh sebagai daerah istimewa pun tak menyentuh sama sekali perda syariah.

Makanya dalam seminar ini, Syafii Antonio mengulang-ulang kata “political commitment”. Artinya, peran pemerintah sangat penting dalam rangka memajukan perekonomian bebasis syariah di Indonesia.



Surabaya, 13 November 2014 

Seluk Beluk Inflasi

Saudaraku, saya akan menuliskan apa yang saya baca dari buku  Adiwarman A. Karim yang berjudul “Ekonomi Makro Islami”. Saya membaca bab 7 dari halaman 133-143. Judul dari bab 7 ini adalah “Inflasi: Stabilitas Nilai Uang Domestik”.  Jadi memang tulisan ini difokuskan untuk membahas tentang inflasi.

Adiwarman A. Karim membagi tulisannya pada bab 7 ini menjadi 3 bagian. Sejarah inflasi, teori inflasi konvesional, dan teori inflasi Islam.

 Ketika membahas tentang sejarah inflasi, ia memulai sejarah inflasi sejak  zaman Byzantium sampai abad 20. Kesimpulan dari tulisan ini ialah, inflasi terjadi di manapun, terhadap mata uang pun dan pada periode kapanpun. Bahkan termasuk mata uang yang terbuat dari emas (dinar)  yang nilainya disebut-sebut mampu bertahan, tetap bisa mengalami inflasi. Hanya saja memang, kalau mata uang yang nilai istrinsiknya rendah seperti uang kertas, dll memiliki potensi inflasi lebih tinggi.

Pada bagian kedua yang membahas tentang teori inflasi konvensional, pak karim memberikan definisi inflasi yang dikemukakan oleh ekonom modern. Inflasi adalah kenaikan yang menyeluruh dari jumlah yang harus dibayarkan (nilai unit penghitungan moneter) terhadap barang-barang/komoditas dan jasa. Adapun deflasi (deflation) adalah sebaliknya, yaitu penurunan nilai unit penghitungan moneter terhadap barang-barang/komoditas dan jasa.

Kamis, 13 November 2014

Tentang Dinar dan Dirham Ditinjau dari Fiqih

Saudaraku, saya sekarang ini saya akan menuliskan sesuatu yang mungkin Cuma sedikit. Tapi tak mengapa, saya tetap berharap apa yang saya tuliskan ini bermanfaat untuk kita semua. Amiin.

Saya tadi membaca buku karangan Adiwarman A. Karim yang berjudul “Ekonomi Makri Islami”. Tapi saya lebih tertarik membaca bagian belakang yang berupa artikel dan ternyata ditulis oleh orang lain yang bernama Hasanuddin M.Ag. Tulisan itu diletakkan pada sub-bab  Appendiks Bab 4 berjudul “Sejarah Uang dalam Islam”.

Menarik apa yang dituliskan dalam artikel ini. Disebutkan bahwa uang dalam Islam memiliki banyak nama. Ada nuqud, atsman, fulus, sikkah, dan umlah. Padahal yang saya tahu Cuma dua, yaitu nuqud dan fulus.

Ada yang lebih menarik dalam tulisan ini ketika menyoroti dinar dan dirham dari segi fiqih. Ada dua kelompok besar dalam masalah ini.

Ada yang berpendapat bahwa emas dan perak (dinar dan dirham) merupakan ketetapan dari Allah untuk dijadikan uang dalam Islam. Adapun selain dinar dan dirham, tidak diperbolehkan. Ada 6 argumen yang disampaikan oleh mereka.

 Kelompok kedua berpendapat bahwa uang tidak harus menggunakan dinar dan dirham, karena uang adalah persoalan tradisi dan praktik yang digunakan oleh masyarakat dan tidak terbatas hanya pada materi atau bahan tertentu. Argumen yang disampaikan juga ada enam.

Lalu pada kesimpulan, penulis memilih pendapat yang kedua, yaitu uang tidak harus berupa dinar dan dirham (terbuat dari emas dan perak). Ada empat argumen yang disampaikan penulis. Salah satu argumennya adalah, penggunaan emas dan perak sebagai uang ternyata hanya merupakan eksperimen dan praktik yang sesuai dengan perkembangan. Selain itu, penggunaan uang pun telah mengalami berbagai perkembangan sejak sebelum penggunaan emas dan perak; dan tidak ada larangan baik dari al-Quran maupun hadits untuk menggunakan uangg dengan bahan bukan emas dan perak sepanjang bisa berfungsi sebagai uang.




Surabaya, 13 November 2014