Sabtu, 20 Desember 2014

Apakah Aset dalam Akad Sukuk Benar-benar ada?

Ada sedikit hal yang ingin saya diskusikan di sini. Atau, kalau bukan diskusikan, apa yang saya tuliskan ini adalah semacam unek-unek atau kegelisahan akademik saya. Hehe.

Jadi begini saudaraku. Saat ini saya sedang belajar tentang sukuk. Saya dapat tema ini dari dosen pengampuku di kelas. Saya mendapat bagian tentang tinjauan fiqih mengenai sukuk dan obigasi konvensional. Kalau obligasi konvesional mungkin sudah dipahami bersama bahwa dalam obligasi konvensional terdapat bunga sehingga bisa disimpulkan bahwa obligasi konvensional itu haram karena mengandung riba.

Lantas untuk sukuk bagaimana? Bukankah disebut-sebut bahwa sukuk ini adalah obligasi yang syariah? Yang sesuai hukum Islam? Atau dengan kata lain, obligasi yang halal?

Sejauh yang saya pahami sampai sekarang, baik obligasi konvesional maupun obligasi syariah (sukuk) merupakan sebuah surat /sertifikat yang dikeluarkan oleh SPV (The Special Purpose Vehicle), sebuah lembaga perwakilan pemerintah yang memiliki hak menerbitkan surat berharga/surat hutang. Cuma bedanya, kalau dalam obligasi konvensional produk yang dikeluarkan disebut sebagai  surat hutang negara, maka dalam obligasi syariah (sukuk) disebut sebagai surat berharga. Dan itulah salah satu penyebab yang membuat obligasi syariah (sukuk) berbeda dengan obligasi konvensional.

Penyebab yang lainnya adalah, ketika SPV mengeluarkan sukuk/obligasi, atau surat/sertifikat berharga (surat hutang) lalu ada masyarakat (investor) yang membelinya, maka dalam obligasi konvensional langsung ditetapkan bahwa investor tersebut akan mendapat bunga sekian persen dari sejumlah uang yang digunakan untuk membeli surat/sertifikat berharga (surat hutang) tersebut. Kegiatan ini mirip dengan seorang nasabah bank yang menyimpan uang di bank, lalu si nasabah mendapat bunga sekian persen dari sejumlah uang yang ia simpan. Nah, bunganya ini termasuk riba dan karena itu haram.

Adapun dalam obligasi syariah (sukuk), si investor tidak mendapatkan bunga. Lalu bagaimana dia mendapat uang tambahan (keuntungan dari berinvestasi)? Dibuatlah akad-akad tertentu sehingga nantinya si investor juga mendapatkan sekian uang sebagaimana dalam obligasi konvensional. Apa saja akad-akadnya? Ada akad ijarah, salam, murabahah, mudharabah, musyarakah, dan istisna’.

Cobalah kita ambil contoh akad ijarah. Jadi, uang yang disetorkan oleh investor kepada SPV untuk membeli sukuk digunakan oleh SPV untuk membayar harga aset secara tunai kepada originator (dalam hal ini pemerintah) yang mana aset tersebut sebelumnya dijual oleh originator kepada SPV. Sehingga, aset tersebut  menjadi hak milik SPV. Lalu SPV ini menyewakan aset tersebut kepada originator dengan kadar sewa tertentu. Karena originator menyewa aset tersebut kepada SPV, ia pun harus membayar uang sewa kepada SPV. Lalu dari hasil sewa tersebut, diberikan kepada para investor sehingga investor mendapatkan pendapatan. Nah, kalau dalam obligasi konvensional pendapatannya berupa bunga, maka dalam sukuk ijarah ini berupa hasil sewa. Baik saya selesaikan dulu kelanjutan dari proses transaksi tadi. Jadi saat maturity, atau saat mau habis akad sukuk ijarah ini (biasanya tidak lama, 1 tahun atau lebih), originator membeli aset dengan harga seperti di awal, dan SPV memberikan uang tersebut kepada investor sebagai tebusan atas sertifikat sukuk.

Pertanyaan kritis yang saya ingin ajukan adalah; dalam prakteknya, apakah asetnya benar-benar ada? Atau, ini hanyalah akal-akalan saja? Nah, kalau memang asetnya ada dan memang benar-benar disewakan, saya kira transaksi ini halal. Tapi kalau ternyata tidak ada, maka transaksi ini sama saja dengan obligasi konvensional, haram. Hanya saja, prosesnya muter-muter dan lebih  jelimet dari obligasi konvensional.

Sekali lagi, apa asetnya benar-benar ada?



Surabaya, 20 Desember 2014

Kamis, 04 Desember 2014

Sekelumit Tentang Sukuk

Sukuk itu apa ya? Mungkin pertanyaan itu yang selama ini ada dalam pikiran kita. Maka dari itulah, untuk mengobati penasaran yang ada akan saya tuliskan sedikit tentang sukuk. Saya ambilkan dari buku “Lembaga Keuangan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis” yang ditulis oleh Nurul Huda dan Mohamad Heykal.

Sukuk berasal dari bentuk jamak dari bahasa Arab ‘sak’ atau sertifikat. Adapun secara istilah sukuk adalah sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.

Terus apa bedanya dengan obligasi konvesional? Pada prinsipnya menurut buku ini, sukuk pada prinsipnya mirip seperti obligasi konvensional. Perbedaannya ialah bunga diganti dengan imbalan dan bagi hasil. Lalu kalau dalam sukuk terdapat transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk. Dan perbedaan yang tidak kalah pentingnya adalah, dalam sukuk terdapat akad atau perjanjian antara pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara Islam agar instrumen keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar, dan maysir.

Lantas apa saja karakteristik sukuk sehingga bersifat inik dan khas? Ada 6 karakteristik yang ditulis dalam buku ini. Yaitu:

1.Merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial title)
2. Pendapatan berupa imbalan (kupon), margin, dan bagi hasil, sesuai jenis akad yang digunakan.
3. Terbebas dari unsur riba, gharar, dan maysir.
4. Penerbitannya melalui special purpose vehicle (SPV)
5. Memerlukan underlying asset
6. Penggunaa proceeds harus sesuai prinsip Islam.

Terus mengapa sukuk ini harus diterbitkan? Tujuannya ialah:
1.     Memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara.
2.     Mendorong pengembangan pasar keuangan Islam.
3.     Menciptakan benchmark di pasar keuangan Islam.
4.     Siversifikasi basis investor.
5.     Mengembangkan alternatif instrumen investasi.
6.     Mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara.
7.     Memanfaatkan dana-dana masyarakat yang belum terjaring oleh sistem perbankan konvensional.

Lalu pertanyaan terakhir, apa saja keunggulan sukuk? Kelebihan sukuk dibandingkan instrumen keuangan lainnya ialah:
1.     Memberikan penghasilan berupa imbalan atau nisbah bagi hasil yang kompetitif.
2.     Pembayaran imbalan dan nilai nominal sampai dengan sukuk jatuh tempo dijamin oleh pemerintah.
3.     Dapat diperjual belikan di pasar sekunder.
4.     Memungkinkan diperolehnya tambahan penghasilan berupa margin (capital gain).
5.     Aman dan terbebas dari riba (usury), gharar (uncertainty), dan maysir (gambling).
6.     Berinvestasi sambil mengikuti dan melaksanakan Islam.

Baik, semoga bermanfaat :)



Surabaya, 4 Desember 2014 

Rabu, 03 Desember 2014

Belum Tahu Sejarah Asuransi?

Kapan sejarah asuransi dimulai? Kalau menurut buku berkudul “Lembaga Keuangan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis” yag ditulis oleh Nurul Huda dan Mohammad Heykal, tepatnya pada halaman 155-158, konsep asuransi sebenarnya sudah dikenal sejak zaman sebelum Masehi di mana manusia pada waktu itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, antara lain kekurangan bahan Makanan.

 Uniknya, penulis buku ini kemudian memberikan contoh pada peristiwa nabi dan Yusuf dan Raja (Fir’aun) yang berkuasa pada wakt itu. Waktu itu, raja bermimpi yang diartikan oleh nabi Yusuf bahwa selama tujuh tahun negeri Mesir akan mengalami panen yang berlimpah dan kemudian diikuti oleh masa paceklik selama tujuh tahun berikutnya. Untuk berjaga-jaga terhadap bencana kelaparan tersebut, Raja Fir’aun mengikuti saran nabi Yusuf dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen pada tujuh tahun pertama sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik. Dengan demikian, pada masa tujuh tahun paceklik rakyat Mesir terhindar dari resiko bencana kelaparan hebat yang melanda seluruh negeri. Menurut penulis buku ini, peristiwa ini adalah bagian dari bentuk asuransi karena ada merupakan kegiatan yang berupaya untuk menyelamatkan jiwa dari ancaman kematian.

Lalu pada tahun 2000 sebelum masehi telah ditemukan sebuah lembaga bernama Collegia Tennirium yang dibentuk oleh saudagar dan aktor di Italia. Lembagai ini disebut-sebut sebagai lembaga mirip asuransi karena bertujuan membantu para janda dan anak-anak yatim dari para anggota yang meninggal.

Kemudian berdirilah kumpulan serupa, yaitu Collegia Nitium yang beranggotakan budak belian yang diperbantukan pada ketentaraan Kerajaan Romawi. Setiap anggota mengumpulkan sejumlah iuran dan jika salah seorang anggota mengalami nasib sial (unfortunate), maka biaya pemakamannya akan dibayar oleh anggota yang bernasib baik (fortunate) dengan menggunakan dana yang telah dikumpulkan sebelumnya.

Beratus-ratus tahun kemudian, yaitu pada zaman Alexander agung (336-323 sebelum masehi) ada usaha manusia yang mirip dengan asuransi, yaitu upaya dari beberapa kota praja untuk mengisi kasnya dengan cara meminjam uang dari perseorangan dengan syarat-syarat sebagai berikut: (i) jumlah uang pinjaman diberikan sekaligus kepada kota praja oleh yang meminjamkan, misalnya 6.000 drachmen; (ii) setiap bulan kota praja membayar sejumlah sejumlah 50 drachmen kepada yang meminjamkan uang hingga ia wafat; dan (iii) ketika ia wafat, kepada ahli warisnya atau keluarganya, kota praja akan memberikan 200 drachmen untuk biaya pemakaman.

Lalu bagaimana dengan literatur Islam? Disebutkan dalam buku ini bahwa dalam literatur Islam dikenal dengan konsep “aqilah” yang sering terjadi sebelum Islam datang dan diakui dalam literatur hukum Islam. Bagaimana konsepnya? Jika aada salah satu anggota suku Arab pra-Islam melakukan pembunuhan, maka dia (si pembunuh) dikenakan diyat dalam bentuk blood money yang dapat ditanggung oleh anggota suku yang lain sebagai kompensasi saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh disebut sebagai aqilah. Lalu mereka mengumpulkan dana (al-kanzu) yang mana dana tersebut  untuk membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan tidak sengaja.

Selain Aqilah, dikenal juga istihlah al-muwalat (perjanjian jaminan); yaitu penjamin menjamin seseorang yang tidak memiliki waris dan tidak diketahui ahli warisnya. Penjamin setuju untuk menanggung bayaran dia, jika orang yang dijamin tersebut melakukan jinayah. Apabila orang yang dijamin mati, penjamin boleh mewarisi hartanya sepanjang tidak ada warisnya.

Selain Aqilah dan al-muwalat ternyata masih ada istilah lain, yaitu at-tanahud, yaitu makanan yang dikumpulkan dari para peserta safar kemudian dicampur menjadi satu. Makanan tersebut dibagikan pada saatnya kepada mereka, kendati mereka mendapatkan porsi yang berbeda-beda. Rasulullah Saw pernah bersabda;

“Marga Asy’ari (Asy’ariyyin) ketika keluarganya mengalami kekurangan bahan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka memiliki dalam satu kumpulan kemudian dibagi di antara mereka secara merata. Mereka adalah bagian dari kami dan kami adalah bagian dari mereka”.

Dalam kasus ini, makanan yang diserahkan bisa jadi sama kadarnya atau berbeda-beda. Begitu halnya makanan yang diterima, bisa jadi sama porsinya dan bisa berbeda-beda.

Dalam buku ini kemudian disebutkan bahwa orang pertama di kalangan fuqaha’ yang memberi komentar terhadap masalah asuransi adalah Ibnu Abidin. Ia merupakan ulama darii kalangan hanafi yang hidup pada tahun 1784-1836 M. Tulisannya tentang asuransi ini bisa dibaca pada bukunya yang berjudul hasyiyah Ibnu Abidin pada bab jihad pasal Isti’man al-kafir.

Lalu pada bagian akhir tentang sejarah asuransi, penulis buku ini menuliskan bahwa  bahwa sesuai dengan rekomendasi Fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang pertama kali bersidang pada 1976 M di Mekkah dengan dihadiri oleh 200 ulama, diputuskan konsep Asuransi Kerja Sama (at-ta’min at-ta’awuny). Kemudian dikuatkan lagi pada Majma’ al-Fiqh al-Islamy yang bersidang pada 28 Desember 1985 di Jeddah, juga memutuskan pengharaman Asuransi Jenis Perniagaan. Majma’ Fiqih juga secara ijma’ mengharuskan asuransi jenis kerja sama (ta’awuni) sebagai alternatif asuransi Islam menggantikan jenis asuransi konvensional. Majma’ fiqih menyerukan agar seluruh umat Islam dunia menggunakan asuransi ta’awwun.

Hm..baiklah, inilah tulisan yang saya nukilkan dari buku luar biasa ini. Semoga bermanfaat untuk kita semua. Amiin.




Panceng, 3 Desember 2014