Ada sedikit hal yang ingin saya diskusikan di sini. Atau, kalau bukan
diskusikan, apa yang saya tuliskan ini adalah semacam unek-unek atau kegelisahan
akademik saya. Hehe.
Jadi begini
saudaraku. Saat ini saya sedang belajar tentang sukuk. Saya dapat tema ini dari
dosen pengampuku di kelas. Saya mendapat bagian tentang tinjauan fiqih mengenai
sukuk dan obigasi konvensional. Kalau obligasi konvesional mungkin sudah
dipahami bersama bahwa dalam obligasi konvensional terdapat bunga sehingga bisa
disimpulkan bahwa obligasi konvensional itu haram karena mengandung riba.
Lantas untuk sukuk
bagaimana? Bukankah disebut-sebut bahwa sukuk ini adalah obligasi yang syariah?
Yang sesuai hukum Islam? Atau dengan kata lain, obligasi yang halal?
Sejauh yang saya
pahami sampai sekarang, baik obligasi konvesional maupun obligasi syariah
(sukuk) merupakan sebuah surat /sertifikat yang dikeluarkan oleh SPV (The
Special Purpose Vehicle), sebuah lembaga perwakilan pemerintah yang memiliki
hak menerbitkan surat berharga/surat hutang. Cuma bedanya, kalau dalam obligasi
konvensional produk yang dikeluarkan disebut sebagai surat hutang negara, maka dalam obligasi
syariah (sukuk) disebut sebagai surat berharga. Dan itulah salah satu penyebab
yang membuat obligasi syariah (sukuk) berbeda dengan obligasi konvensional.
Penyebab yang lainnya
adalah, ketika SPV mengeluarkan sukuk/obligasi, atau surat/sertifikat berharga
(surat hutang) lalu ada masyarakat (investor) yang membelinya, maka dalam
obligasi konvensional langsung ditetapkan bahwa investor tersebut akan mendapat
bunga sekian persen dari sejumlah uang yang digunakan untuk membeli
surat/sertifikat berharga (surat hutang) tersebut. Kegiatan ini mirip dengan
seorang nasabah bank yang menyimpan uang di bank, lalu si nasabah mendapat
bunga sekian persen dari sejumlah uang yang ia simpan. Nah, bunganya ini
termasuk riba dan karena itu haram.
Adapun dalam obligasi
syariah (sukuk), si investor tidak mendapatkan bunga. Lalu bagaimana dia
mendapat uang tambahan (keuntungan dari berinvestasi)? Dibuatlah akad-akad
tertentu sehingga nantinya si investor juga mendapatkan sekian uang sebagaimana
dalam obligasi konvensional. Apa saja akad-akadnya? Ada akad ijarah, salam,
murabahah, mudharabah, musyarakah, dan istisna’.
Cobalah kita ambil
contoh akad ijarah. Jadi, uang yang disetorkan oleh investor kepada SPV untuk
membeli sukuk digunakan oleh SPV untuk membayar harga aset secara tunai kepada
originator (dalam hal ini pemerintah) yang mana aset tersebut sebelumnya dijual
oleh originator kepada SPV. Sehingga, aset tersebut menjadi hak milik SPV. Lalu SPV ini menyewakan
aset tersebut kepada originator dengan kadar sewa tertentu. Karena originator
menyewa aset tersebut kepada SPV, ia pun harus membayar uang sewa kepada SPV. Lalu
dari hasil sewa tersebut, diberikan kepada para investor sehingga investor
mendapatkan pendapatan. Nah, kalau dalam obligasi konvensional pendapatannya
berupa bunga, maka dalam sukuk ijarah ini berupa hasil sewa. Baik saya
selesaikan dulu kelanjutan dari proses transaksi tadi. Jadi saat maturity, atau
saat mau habis akad sukuk ijarah ini (biasanya tidak lama, 1 tahun atau lebih),
originator membeli aset dengan harga seperti di awal, dan SPV memberikan uang
tersebut kepada investor sebagai tebusan atas sertifikat sukuk.
Pertanyaan kritis
yang saya ingin ajukan adalah; dalam prakteknya, apakah asetnya benar-benar
ada? Atau, ini hanyalah akal-akalan saja? Nah, kalau memang asetnya ada dan
memang benar-benar disewakan, saya kira transaksi ini halal. Tapi kalau
ternyata tidak ada, maka transaksi ini sama saja dengan obligasi konvensional,
haram. Hanya saja, prosesnya muter-muter dan lebih jelimet dari obligasi konvensional.
Sekali lagi, apa
asetnya benar-benar ada?
Surabaya, 20 Desember
2014