Sabtu, 16 Januari 2016

Alasan Ingin Menjadi Orang Kaya

Banyak orang ingin menjadi orang kaya. Namun banyak juga yang orientasinya salah. Orientasinya hanya bersifat materi dan duniawai. Tidak ada aspek ruhani dan ukhrawi. Padahal Allah menuntun kita untuk meneladani para pahlawan ekonomi semisal 2 sahabat nabi, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf. Mereka kaya, tapi kekayaan mereka digunakan untuk memperjuangkan Islam.

Kita sebagai umat Islam hendaknya juga memiliki spirit itu. Motivasi kita menjadi orang kaya seharusnya benar. Motivasi kita bukan saja karena diri-sendiri atau keluarga. Motivasi dan spirit kita untuk menjadi orang kaya adalah karena Islam, karena agama tercinta ini. Kaya sosial, bukan kaya pribadi. Kaya dermawan, bukan kaya pelit.

Saya pernah mendengar cerita motivasi dari seorang motivator yang berasal dari pesantren entrepeneur. Dia bercerita bahwa tatkala mengisi sebuah acara motivation training, ia bertanya kepada peserta berapa jumlah penghasilan yang ingin mereka dapatkan setiap bulan.
Di antara peserta ada yang menjawab bahwa dia tidak tahu berapa jumlah penghasilan yang ingin dia dapatkan. Tapi yang jelas dia ingin mendirikan sebuah pesantren khusus anak yatim. Mereka semua digratiskan dalam menuntut ilmu. 

Subhanallah. Jadi peserta training itu ingin menjadi orang kaya, tapi hartanya dia ingin gunakan untuk menghidupi anak-anak yatim. Dia tidak ingin menjadi orang egois yang ingin menikmati kekayaannya sendirian.

Bagaiaman dengan kita? Apa tujuan kita untuk menjadi orang kaya?


Surabaya, 12 Januari  2016











Senin, 11 Januari 2016

Waktu Tepat Menjadi Pengusaha

Kapan waktu yang tepat menjadi pengusaha? Pertanyaan itu mungkin muncul dalam diri kita. Pertanyaan ini wajar muncul karena para pengusaha yang kita kenal di dunia bermacam-maca. Ada yang memulai usahanya sejak kecil. Ada yang mengawali saat remaja. Ada yang baru buka toko sewaktu umur 20-an. Ada yang 30-an. Dan ada juga yang baru terjun ke dunia bisnis ketika berumur 40-an.

Kalau pertanyaan itu ditujukan kepada saya, maka saya akan menjawab bahwa tergantung kepada orangnya masing-masing. Kalau memang memungkin sejak kecil dan remaja, silahkan. Jika memulai bisnis sejak berumur 20-an juga silahkan. Pun ter,asuk ketika terjun di dunia bisnis sejak berumur 30-an dan 40-an. Tidak ada masalah. Sesuai dengan kondisi dan situasi.

Sebenarnya menurut saya yang paling penting bukan kapan kita memulai bisnis. Karena kesempatan setiap manusia berbeda-beda. Yang paling penting adalah menjaga semangat untuk berbisnis agar tidak raib dari hati. 

Jadi bisa saja kita memang belum memulai bisnis. Namun dalam diri kita terdapat keinginan yang kuat. Maka yang harus kita lakukan adalah menunggu kesempatan yang ada dan melihat-lihat peluang yang bisa diambil sambil lau kita mengumpulkan modal.

Hm...semoga kita menjadi pengusaha, pengusaha yang sukses. Amiin.




Surabaya, 11 Januari  2016









Jumat, 08 Januari 2016

Bisnis; antara Duniawi dan Ukhrawi


Kegiatan bisnis adalah kegiatan yang mungkin dianggap sebagai kegiatan duniawi. Apa itu benar? Jawabannya ada 2, bisa benar dan bisa salah. Kenapa benar? Karena seseorang yang berbisnis, biasanya sangat mencintai pekerjaannya ini sehingga lupa untuk melaksankan shalat, baca al-Quran, dan lain-lain. Selain itu, pebisnis semacam ini tidak mau menginfakkan hartanya di jalan Allah. Dia enggan mengeluarkan sedekah karena dipandang bahwa sedekah itu hanyalah aksi membuang uang.

Jawaban kedua dari pertanyaan di atas adalah, tidak benar bahwa kegiatan berbisnis semata-mata untuk duniawi. Sudah teramat banyak bukti yang bisa kita jadikan argumen. Banyak para pengusaha-pengusaha muslim yang ternyata shalatnya rajin, rajin bersedekah, dan lain-lain. Mereka juga menjadikan usaha bisnisnya untuk kepentingan akhiratnya. Karena mereka yakin bahwa kekayaan bisa menyebabkan seseorang meraih kenikmatan di surga.

Jadi kegiatan bisnis bisa menjadi kegiatan yang hanya bersifat duniawi, bisa juga menjadi kegiatan ukhrawi. Tergantung orangnya masing-masing. 

Bagaimana dengan kita? Kita termasuk yang mana?

Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu menjadikan segala sesuatu berdimensi ukhrawi. Amiin.


Surabaya, 8 Januari  2016






Rabu, 06 Januari 2016

Kaya dan Shaleh


Apakah banyak orang kaya di dunia ini? Iya, banyak. Apakah banyak orang shaleh di planet bumi ini? Mungkin. Apakah banyak orang kaya sekaligus shaleh di jagat raya ini? Sedikit.

Ya, tidak banyak orang yang kaya namun pada sisi yang lain dia shaleh. Yang ada biasanya shaleh tapi miskin atau kaya tapi tidak shaleh. Itulah fakta yang ada di hadapan kita.

Namun juga ada yang begini. Seseorang yang shaleh namun dia tidak mau menjadi kaya karena khawatir kekayaan itu akan menyebabkan dia lalai kepada Allah. Itu sebenarnya sah-sah saja. Akan tetapi kalau semua orang bersikap seperti itu, maka tentunya kurang bagus. 

Justru sebenarnya, orang-orang shalehlah yang harusnya kaya. Kenapa? Karena kalau yang kaya adalah orang shaleh, maka hartanya digunakan untuk perjuangan Islam. Harta itu akan digunakan untuk bersedejah kepada fakir miskin, membangun masjid, dan lain-lain.

Namun sayangnya, banyak orang yang shaleh tapi tidak mau kaya. Ada juga yang kaya tapi tidak mau shaleh.

Kalau kita termasuk yang mana?? ;)




Surabaya, 7 Januari  2016





Pengusaha Indonesia Vs Pengusaha Luar Negeri


Apa perbedaan pengusaha Indonesia dan pengusaha luar negeri?

Saya pernah mendapat penjelasan dari seorang konsultan yang bergerak di bidang strategic management. Dia menjelaskan bahwa pengusaha Indonesia dengan pengusaha luar negeri memiki perbedaan. Letak perbedaannya terdapat pada kefokusan.

Kalau pengusaha luar negeri, mereka fokus pada satu bidang bisnis. Setelah sukses lalu terus mengembangkan bisnis yang sama sampai melebarkan sayap ke luar negeri. Contohnya adalah Bill Gates dengan Microsoftnya, pemilik Coca cola, dan lain-lain.

Namun kalau pengusaha Indonesia, ketika sukses mereka kemudian beralih ke jenis bisnis yang lain. Mereka tidak fokus pada satu bisnis. Contohnya adalah Jusuf Kalla, Chairul Tanjung, dan lain-lain.

Itulah perbedaannya. Kalau sekiranya pengusaha Indonesia fokus pada satu bidang bisnis, maka tidak menutup kemungkinan bisnisnya akan besar hingga melebarkan sayap ke luar negeri. Apalagi sejak tahun 2016 ini sudah dibuka pasar bebas di kawasan ASEAN, yaitu MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Maka mau tidak mau masyarakat Indonesia harus mampu bersaing dengan negara tetangga. Dibutuhkan pengusaha yang mampu melebarkan sayap di luar negeri.

Bagaimana dengan pengusaha Indonesia di generasi selanjutnya? Bisakah melebarkan sayapnya ke luar negeri dan fokus pada satu bidang bisnis? Kita lihat saja nanti.



Surabaya, 6 Januari  2016




“MEA Ketinggalan Zaman”

Kemarin saya mengikuti agenda “Sarasehan Pengembangan Kurikulum Ekonomi Syariah” di Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman al-Hakim (STAIL) Surabaya. Peserta yang hadir lumayan keren-keren. Ada pak Iman Supriyono dari SNF Consulting, ada Dr. Zakik yang juga pengurus MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) Jatim, dan lain-lain.
Ada catatan menarik yang saya dapatkan dari pak Iman Supriyono. Dia mengatakan bahwa saat ini masyarakat Indonesia sedang heboh dengan adanya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Heboh karena Indonesia akan memasuki pasar bebas. Orang-orang dari luar Indonesia yang berada di negara-negara anggota ASEAN bisa bebas bekerja dan tinggal di Indonesia. Misalnya orang Thailand akan bebas berjualan di Indonesia tanpa adanya bea cukai yang tinggi. Begitu juga dengan orang Indonesia juga bisa bekerja di luar negeri dengan mudah tanpa hambatan. Jadi pasar yang ada benar-benar pasar bebas.
Namun menurut pak Iman Supriyono, wacana MEA sudah kuno. Karena sejak zaman penjajahan Belanda banyak perusahan-perusahan yang sudah terjun bebas di Indonesia. Dan sampai sekarang mereka terus mencengkeram Indonesia dengan perusahaan yang dimiliki. 
Jadi sebenarnya tanpa ada MEA pun Indonesia dari dulu sudah melakukan era pasar bebas, artinya banyak orang luar (Belanda, dll) yang sudah menancapkan kuku bisnisnya di negara tercina ini.
Hm...


Surabaya,5 Januari  2016




Perceived Risk


Sebelum membeli,  pembeli akan memiliki persepsi tertentu terhadap apa yang akan dia beli. Dia akan berpikir-pikir terlebih dahulu, apakah  dia akan meneruskan membeli atau tidak. Setelah dia membeli, dia juga akan berpikir-pikir apakah di masa yang lain akan membeli barang itu di tempat yang sama atau tidak.
 
Persepsi itu muncul karena dikhawatirkan ada-ada resiko tertentu yang akan dia terima jika dia membeli. Selanjutnya resiko-resiko yang dipersepsikan tersebut akan menjadikan si pembeli memutuskan apakah tetap membeli atau tidak, apakah di masa yang lain membeli lagi atau tidak, dan apakah dia akan menjadi pelanggan setia atau tidak.

Resiko-resiko yang dipersepsikan dinamakan dengan perceived risk. Sejak tahun 1970-an para akademisi sudah melakukan penelitian tentang perceived risk. Ukuran yang dipakai dalam perceived risk menurut Kaplan ada 5; yaitu financial risk (resiko keuangan), time risk (resiko waktu), social risk (resiko sosial), physological risk (resiko psikologi), dan performance risk (resiko kinerja). Kelima resiko yang dipersepsikan iulah yang menentukan apakah seseorang tetap bertahan menjadi pelanggan atau berhenti di tengah jalan tak lagi membeli di toko yang sama. 

Perceived risk itu tidak hanya ada di toko-toko atau pasar, tapi juga dalam dunia perbankan. Bedanya, kalau di pasar istilah yang digunakan adalah pembeli dan penjual, kalau dalam bank istilahnya adalah nasabah dan pihak bank. 

Itulah sekelumit perceived risk yang saya pahami. Semoga bermanfaat. :)




Surabaya, 4 Januari  2016



Sabtu, 02 Januari 2016

Switching Barrier


Seorang penjual warung tidak ingin pembeli yang biasanya langganan membeli di warungnya pindah ke warung lain. Penjual tersebut ingin pelanggan setianya tersebut terus-menerus membeli di warungnya. Penjual tersebut harus mengetahui apa penyebab pelanggan itu masih bertahan untuk tak pindah warung. Dengan mengetahui hal itu, dia akan mampu menjaga agar pelanggan tersebut tetap setia membeli di warungnya.
 
 Upaya yang bisa ia lakukan misalnya adalah menjaga kualitas masakan, pelayanan yang memuaskan, harga terjangkau, dan lain sebagainya. Cara lain yang bisa ditempuh misalnya dengan doa, menjaga hubungan baik dengan pelanggan tersebut, dan lain-lain. 

Begitu juga dengan dunia perbankan. Pihak bank harus mengetahui penyebab nasabah tetap bertahan di bank tersebut dan tidak mau pindah ke bank lain. Cara yang bisa ditempuh bisa dua macam, positif dan negatif. Cara yang baik misalnya adalah dengan meningkatkan kualitas, memperbagus pelayanan, dan lain-lain. Cara yang negarif (kurang baik) misalnya dengan mempermahal biaya administrasi jika ingin melakukan pemindahan, dan lain-lain.

Nah, penyebab pelanggan atau nasabah tersebuh tidak pindah ke tempat lain disebut switching barrier. Atau dalam kata lain, switching barrier adalah hambatan yang dimiliki oleh pembeli atau nasabah untuk pindah ke perusahaan/toko/warung/bank lain. Hambatan tersebut bisa berupa biaya yang tinggi, bagusnya kualitas dan pelayanan, dan lain-lain.

Itulah sekelumit tentang switching barrier. Semoga bermanfaat.


Surabaya, 3 Januari  2016


Berekonomi Syariah



Akhir-akhir ini istilah “ekonomi syariah” booming. Di mana-mana terdengar dan terlihat. Tidak hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia maya (baca: internet). Padahal, dalam beberapa tahun terakhir kata “syariah” merupakan kata yang seolah-olah ‘dimusuhi’ oleh sebagian orang karena dianggap tidak cinta nasionalisme atau karena alasan lainnya. Sebutlah misalnya istilah perda syariah, penerapan syariah Islam di Aceh, undang-undang syariah, dan lain-lain.

Memang, ketika kata ‘syariah’ digandengkan dengan kata ekonomi, urusan menjadi lain. Begitu juga dengan kata bank yang juga disabdingkan dengan ‘syariah’, tak ada yang protes. Tak ada yang ‘menentang’ sebagaimana penentangan perda syariah, dan lain-lain.

Tentunya perlu disyukuri, karena dengan diterimanya ekonomi syariah oleh masyarakat Indonesia, maka sisi yang lain insyaAllah juga nyusul. Ke depannya, kalau ekonomi syariah ini sukses di Indonesia, maka tidak menutup kemungkinan syariah-syariah yang lain juga bisa diterapkan.

Berbicara ekonomi syariah tidak hanya berbicara tentang bank syariah, asuransi suariah, obligasi syariah, dan lain-lain. Ruang lingkup ekonomi syariah lebih luas dari itu. Berekonomi syariah berarti masyarakat menerapkan ekonomi syariah dalam berbagai aspek dalam kehidupannya yang diatur oleh negara.

Berekonomi syariah berarti berbicara tentang mindset, cara berpikir, framewok, atau worldview. Maka dari itulah, ketika memilih bank syariah sebagai pilihan dalam bertransaksi dalam keuangan bukan karena semata ingin mencari keuntungan, tapi karena bagian dari memperjuangkan ekonomi syariah dan berusaha menerapkan ekonomi syariah di negeri tercinta ini. 

Begitu pula bukan karena sebab-sebab remeh lainnya; seperti biar lebih keren, agar dapat pelayanan yang lebih memuaskan, dan lain-lain. Ada yang lebih tinggi dari itu. Berekonomi syariah itu berarti berusaha menerapkan sistem ekonomi yang islami, berdakwah dalam bidang ekonomi, bereperilaku sesuai syariah, dan lain-lain.

Semoga kita menerapkan mindset ini. Benar-benar berekonomi syariah.



Surabaya, 2 Januari 2016

Jumat, 01 Januari 2016

Bank Syariah


Apa itu bank syariah? 

Bank syariah adalah istilah yang ada di Indonesia. Di negara lain, namanya bukan bank syariah melainkan bank Islam.

Bank syariah berbeda dengan bank non-syariah (baca: bank konvensional). Perbedaan utamanya adalah ada riba atau tidak ada riba. Bank non-syariah menggunakan konsep riba (baca: bunga bank), sementara bank syariah tidak memakainya. 

Bank non-syariah memperoleh ‘penghasilan’ dari bunga. Misalnya ada seseorang yang meminjam uang sebesar satu juta, maka dia harus mengembalikan sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah. Nah, uang sebesar lima ratus ribu adalah bunga dari pinjaman tersebut. Simpelnya, dalam bank non-syariah menggunakan konsep meminjam dan dipinjam. Nasabah si peminjam dan bank yang memberi pinjaman. Adapun kelebihan uang dari jumlah yang semestinya dikembalikan adalah bunga alias riba.

Bagaimana dengan bank syariah? Dalam bank syariah, tidak ada riba dan istilah meminjam dan dipinjami. Yang ada adalah kerja sama kedua belah pihak. Kerjasamanya ada 2 macam, investasi dan jual beli (baca: pembiayaan). Dalam investasi terdapat mudharabah ataupun musyarakah. Dalam pembiayaan ada murabahah, istishna’, salam, wadi’ah, ataupun ijarah mutanaqishah bit tamlik (IMBT). ‘Penghasilan’ yang didapat dari investasi adalah berupa keuntungan dari bagi hasil. Sedangkan dari pembiayaan, ‘penghasilan’ yang diperoleh berasal dari margin antara harga jual dan harga beli (baca: keuntungan). Jadi, tidak ada bunga bank.

Ada yang mengatakan bahwa konsep investasi dalam bank syariah lebih syar’i dari konsep pembiayaan. Karena dalam konsep pembiayaan ada kemiripan dengan konsep bunga. Bedanya adalah akad dan istilah. Namun yang perlu dicatat di sini, mirip bukan berarti sama. Tetap berbeda. Beda akad sungguh sangat fatal. Akad yang ada dalam pembiayaan adalah jual beli, nasabah sebagai pembeli dan bank sebagai penjual. Sedangkan akad dalam bank non-syariah adalah pinjam dan dipinjami, nasabah sebagai peminjam dan bank sebagai pihak yang dipinjami. Makanya terdapat banyak perbedaan dalam sisi teknisnya.

Secara konsep, tidak ada masalah dalam bank syariah. Sisi yang masih perlu diperjuangkan adalah dalam pelaksanaannya. Makanya para karyawan yang ada di bank syariah dituntut untuk benar-benar paham tentang konsep bank syariah. Begitu juga dengan DPS (Dewan Pengawas Syariah) yang ada, harus benar-benar melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya.

Memang masih ada pihak yang masih meragukan bank syariah. Namun hal ini hendaknya dilihat dari sisi perjuangan untuk mengubah sistem  konvensional menuju sistem Islam. Kalau ada yang belum sempurna, langkah yang diambil adalah memberi masukan, bukan dengan memberikan  sikap antipati yang sama sekali tak memberikan solusi.

Sekali lagi, adanya bank syariah adalah sebuah perjuangan untuk beralih menuju sistem ekonomi yang syariah. :)



Surabaya, 1 Januari 2016