Saudaraku, saya
tertarik untuk menulis tentang berbedanya antara konsep yang ditawarkan oleh para
teoritis dengan apa yang dilakukan oleh para praktisi, khususnya dalam bidang
perbankan syariah.
Beberapa hari yang
lalu, saya mendatangi salah satu bank syariah di Surabaya untuk mengurus ATM
saya yang hilang. Setelah urusan selesai, saya membaca brosur yang berisi
penawaran untuk melakukan salah satu produk yang ada di bank tersebut, yaitu
deposito mudharabah. Saya sempat bertanya kepada teller yang waktu itu bertugas
dan saya mendapatkan jawaban yang membuat saya bertanya-tanya dalam hati.
Begini, sebagaimana
diketahui bahwa deposito adalah tabungan berjangka. Bisa satu bulan, 6 bulan, 1
tahun, dan lain-lain. Setelah habis jangka waktu itu, nasabah bisa mengambil
tabungannya atau juga bisa memperpanjang.
Nah, untuk di bank
syariah, karena tidak ada sistem bunga maka dilakukan akad jual beli. Dalam
bank yang saya bicarakan di atas menggunakan akad mudharabah, yaitu sistem bagi
hasil.
Dalam teori, misalnya
saya sebagai nasabah ingin mengikuti transaksi deposito mudharabah ini, maka
saya disebut sebagai shahibul maal alias pemilik dana, sedangkan bank disebut
sebagai mudharib atau pihak yang mengelola dana tersebut. Hanya saja karena
bank tidak diperbolehkan dalam peraturan untuk melakukan suatu usaha (dan
memang fungsi bank hanyalah sebagai pihak perantara), maka bank kemudian
bekerjasama dengan pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa berusaha perusahaan atau
perorangan. Nah, uang yang saya serahkan ke bank tadi kemudian oleh bank
diserahkan kepada suatu perusahaan untuk digunakan sebagai modal dalam usaha.
Setelah uang itu digunakan untuk usaha, maka diperolehlah keuntungan, dan
keuntungan itu kemudian dibagi sesuai dengan kesepakatan. Bisa 50: 50, 60:40,
atau yang lainnya. Begitulah menurut teori yang ditawarkan oleh para akademisi.
Namun, ketika saya
tanya kepada teller tersebut, apakah saya sebagai shahibul maal (pemilik dana) boleh
mengetahui jenis usaha yang dikelola oleh pihak ketiga? Ternyata teller itu menjelaskan bahwa sebagai
nasabah kita tidak perlu mengetahui hal itu. Kita nanti hanya mengetahui berapa
rupiah keuntungan yang kita dapatkan.
Sepulang dari bank,
saya pun berdiskusi dengan teman tentang hal ini. Teman saya pun mengatakan
bahwa sudah menjadi rahasia umum, bahwa pihak bank sebenarnya tidak melakukan
kerjasama dengan pihak ketiga untuk melakukan usaha. Menurutya, pihak bank
memberikan keuntungan nasabah melalui transaksi lain yang dilakukan oleh bank,
yaitu akad murabahah. Jadi keuntungan yang didapat dari transaksi murabahah,
kemudian dijadikan keuntungan untuk transaksi mudharabah. Wah, wah, wah,
berarti sebenarnya masih belum syariah dong. Semestinya kan keuntungan yang
diberikan kepada nasabah dalam deposito mudharabah harus berasal dari sebuah
usaha.
Sebenarnya saya
pribadi masih belum mengetahui secara pasti, apakah memang seperti itu
realitanya. Hanya saja, ketika saya berdiskusi dengan teman yang lain, ia
mengatakan bahwa ada kemungkinan mengapa teller tersebut menjelaskan seperti
demikian. Pertama, karena memang tidak usaha semacam itu (sebagaimana pendapat
teman saya yang pertama). Kedua, teller itu tidak tahu mengenai hal itu karena hanya
atasannya yang tahu.
Hm..entahlah. Tampaknya,
aplikasi dalam lapangan belum sesuai teori karena masih sulit diterapkan. Namun,
Setidaknya sudah ada upaya untuk melakukan transaksi sesuai syariah walau hal
itu belum benar-benar sesuai 100%. Saya pun teringat kata-kata dosen saya
sewaktu di kelas bahwa penerapan ekonomi syariah masih butuh perjuangan. "Makanya, jadilah pejuang ekonomi syariah", kata beliau. Hm...
Yah, perjuangan.
Terutama memperjuangkan agar antara teori dengan praktek di lapangan
benar-benar sesuai. :)
Surabaya, 23 Agustus
2015