Sabtu, 29 Agustus 2015

Agar Kaya dan Berkah

Saudaraku, saya mau nulis tapi sedikit. Nggak apa-apa ya J

Saya ingin share apa yang saya pernah dapatkan dari apa yang pernah saya baca.

Begini, kalau kita mau kaya dan kekayaan kita penuh berkah maka caranya adalah dengan menggunakan konsep manajemen keuangan yang baik. Tidak harus muluk-muluk. Konsep manajemen keuangan yang  sederhana saja.

Setiap kita mendapat uang, berapun besarnya, hendaknya kita bagi menjadi tiga bagian; untuk belanja, untuk investasi, dan untuk sedekah. Kalau pak Iman Supriyono, konsultan strategic finansial menyarankan menggunakan rumus 80 10 10. 80 persen untuk belanja, 10 persen untuk investasi dan 10 persen untuk sedekah. Namun kalau pak Muhamim Iqbal, pemilik geraidinar.com dan penulis serta praktisi bisni Islam, menyarankan menggunakan konsep 1/3. Sepertiga harta digunakan untuk belanja, sepertiga yang kedua untuk investasi, dan sepertiga yang ketiga untuk sedekah.

Hm..Baik, itu aja dulu. Semoga bermanfaat. Semoga kita bisa mengatur keuangan kita dengan baik. J




Surabaya, 29 Agustus 2015

Berkembang dengan Manajemen Keuangan yang Baik

Saudaraku, sewaktu kecil kita mungkin menyaksikan ada tetangga kita yang punya usaha kecil berupa warung kecil di samping rumahnya. Ketika kita besar, ternyata warung itu tetap kecil tak ada perkembangan. Pertanyaannya, mengapa warung itu tetap kecil dan tak ada perkembangan?

Kalau menurut Iman Supriyono, salah satu konsultan Strategic Financial, hal itu disebabkan tidak berjalannya manajemen keuangan yang baik. Penjual warung itu mengambil seluruh keuntungan dari hasil jualannya untuk keperluan sehari-hari alias untuk belanja. Dia tidak menggunakan sebagian keuntungannya untuk memperbesar usaha warungnya. Akibatnya, warungnya tidak ada peningkatan dan tidak terjadi penambahan jumlah warung. Hanya warung itu saja. Tidak ada warung yang lain.

Nah, konsep ini berlaku juga dengan usaha-usaha yang lain, tidak hanya warung. Baik berupa toko, perusahaan, pabrik, dll. Kalau mau usaha-usaha tersebut semakin berkembang dan besar maka harus berani menyisihkan sebagian keuntungannya setiap bulan untuk membesarkan usahanya, tidak hanya untuk belanja.

Konsep ini juga bisa diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita bisa menerapkan manajemen keuangan dalam diri kita. Setiap uang yang kita dapatkan, misalnya gaji yang didapat setiap bulan, kita bagi uang itu menjadi tiga bagian. Pertama untuk konsumsi, kedua untuk investasi, dan yang ketiga untuk sedekah.

Walaupun gaji yang didapatkan bertambah banyak di setiap tahunnya, hendaknya jumlah pengeluaran untuk konsumsi tetap sama, tidak ikut bertambah banyak sebagaimana besar gaji. Misalnya, pada tahun 2014 gaji yang didapatkan setiap bulannya adalah dua juta, sementara jumlah pengeluaran untuk konsumsi adalah satu juta. Maka ketika pada tahun berikutnya, tahun 2015 gaji yang didapatkan misalnya bertambah menjadi tiga juta, maka usahakan pengeluarannya tetap sama dengan tahun 2014 yaitu sebesar satu juta. Dengan cara ini, maka jumlah sisa gaji kita pada tahun 2014 dan 2015 akan berbeda. Kalau pada tahun 2014 jumlah sisa gaji kita sebesar satu juta (dua juta dikurangi satu juta), maka tahun 2015 jumlah sisa gaji yang kita miliki menjadi dua juta (tiga juta dikurangi satu juta).

Nah, kalau sisa gaji itu (setelah dikurangi sedekah) digunakan untuk investasi, maka setiap tahun investasi kita akan semakin besar. Sehingga gaji kita tidak habis hanya untuk konsumsi saja. Dan, keuangan kita juga akan meningkat. J

Kalau dalam teori hal itu sangat mudah dilakukan. Tapi kalau dalam prakteknya, wow, sangat susah untuk diterapkan. Namun ada seorang motivator yang mengatakan bahwa sesuatu yang sulit itu masih bisa dilakukan.

Hm..semoga penjelasan saya tidak membingungkan. Sedikit bocoran, apa yang saya tulis berdasarkan apa yang saya pahami dari tulisan pak Iman Supriyono yang tadi saya sebut namanya di atas. Jadi kalau belum paham, bisa merujuk kepada tulisan beliau langsung. Hehe.

Semoga bermanfaat J




Surabaya, 28 Agustus 2015

Mengapa Mengimpor Sapi?

Saudaraku, beberapa waktu lalu saya membaca sebuah berita tentang kebijakan yang digunakan oleh  menteri perdagangan yang baru di era presiden Jokowi ini. Berbeda dengan kebijakan menteri perdagangan sebelumnya (sebelum terjadi reshufle), kali ini menteri yang baru menerapkan kebijakan mengimpor sapi. Alasannya, karena terdapat mafia yang menyebabkan harga daging sapi di pasaran menjadi mahal. Solusinya, pemerintah Indonesia mengimpor sapi dari luar negeri sehingga harga sapi normal kembali.

Menurut saya, solusi tersebut bukanlah solusi yang baik. Mengapa? Karena permasalahannya terletak pada mafia. Jadi pemerintah seharusnya berupaya menindak mafia tersebut, bukan dengan menggunakan sapi dari negara lain.

Adalah sesuatu yang ironis, jika pemerintah Indonesia mengimpor produk/barang yang sebenarnya  bisa dihasilkan dari dalam negeri. Kalau barang-barang elektronik semacam mobil motor, handphone, dan lain-lain mungkin adalah seuah kewajaran jika pemerintah mengimpornya dari negara lain. Tapi kalau pemerintah juga mengimpor sapi, beras, kedelai, dan lain-lain maka ini merupakan sebuah musibah. Kalau hasil ternak dan tani tersebut  diimpor ari luar negeri, bagaimana dengan nasib para petani dan peternak lokal?

Apalagi, sebentar lagi yaitu mulai 31 Desember 2015, akan dimulai perdagangan bebas bernama MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Kalau pemerintah tidak hati-hati dalam membuat kebijakan, maka negara ini akan terjual. Negara ini akan kalah bersaing.


Hm...itulah unek-unek saya kali ini sebagai analis pemula. Hehe. 



Surabaya, 25 Agustus 2015

Sabtu, 22 Agustus 2015

Teori dan Praktek di Bank Syariah masih Berbeda?

Saudaraku, saya tertarik untuk menulis tentang berbedanya antara konsep yang ditawarkan oleh para teoritis dengan apa yang dilakukan oleh para praktisi, khususnya dalam bidang perbankan syariah.

Beberapa hari yang lalu, saya mendatangi salah satu bank syariah di Surabaya untuk mengurus ATM saya yang hilang. Setelah urusan selesai, saya membaca brosur yang berisi penawaran untuk melakukan salah satu produk yang ada di bank tersebut, yaitu deposito mudharabah. Saya sempat bertanya kepada teller yang waktu itu bertugas dan saya mendapatkan jawaban yang membuat saya bertanya-tanya dalam hati.

Begini, sebagaimana diketahui bahwa deposito adalah tabungan berjangka. Bisa satu bulan, 6 bulan, 1 tahun, dan lain-lain. Setelah habis jangka waktu itu, nasabah bisa mengambil tabungannya atau juga bisa memperpanjang.

Nah, untuk di bank syariah, karena tidak ada sistem bunga maka dilakukan akad jual beli. Dalam bank yang saya bicarakan di atas menggunakan akad mudharabah, yaitu sistem bagi hasil.

Dalam teori, misalnya saya sebagai nasabah ingin mengikuti transaksi deposito mudharabah ini, maka saya disebut sebagai shahibul maal alias pemilik dana, sedangkan bank disebut sebagai mudharib atau pihak yang mengelola dana tersebut. Hanya saja karena bank tidak diperbolehkan dalam peraturan untuk melakukan suatu usaha (dan memang fungsi bank hanyalah sebagai pihak perantara), maka bank kemudian bekerjasama dengan pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa berusaha perusahaan atau perorangan. Nah, uang yang saya serahkan ke bank tadi kemudian oleh bank diserahkan kepada suatu perusahaan untuk digunakan sebagai modal dalam usaha. Setelah uang itu digunakan untuk usaha, maka diperolehlah keuntungan, dan keuntungan itu kemudian dibagi sesuai dengan kesepakatan. Bisa 50: 50, 60:40, atau yang lainnya. Begitulah menurut teori yang ditawarkan oleh para akademisi.

Namun, ketika saya tanya kepada teller tersebut, apakah saya sebagai shahibul maal (pemilik dana) boleh mengetahui jenis usaha yang dikelola oleh pihak ketiga? Ternyata teller itu menjelaskan bahwa sebagai nasabah kita tidak perlu mengetahui hal itu. Kita nanti hanya mengetahui berapa rupiah keuntungan yang kita dapatkan.

Sepulang dari bank, saya pun berdiskusi dengan teman tentang hal ini. Teman saya pun mengatakan bahwa sudah menjadi rahasia umum, bahwa pihak bank sebenarnya tidak melakukan kerjasama dengan pihak ketiga untuk melakukan usaha. Menurutya, pihak bank memberikan keuntungan nasabah melalui transaksi lain yang dilakukan oleh bank, yaitu akad murabahah. Jadi keuntungan yang didapat dari transaksi murabahah, kemudian dijadikan keuntungan untuk transaksi mudharabah. Wah, wah, wah, berarti sebenarnya masih belum syariah dong. Semestinya kan keuntungan yang diberikan kepada nasabah dalam deposito mudharabah harus berasal dari sebuah usaha.

Sebenarnya saya pribadi masih belum mengetahui secara pasti, apakah memang seperti itu realitanya. Hanya saja, ketika saya berdiskusi dengan teman yang lain, ia mengatakan bahwa ada kemungkinan mengapa teller tersebut menjelaskan seperti demikian. Pertama, karena memang tidak usaha semacam itu (sebagaimana pendapat teman saya yang pertama). Kedua, teller itu tidak tahu mengenai hal itu karena hanya atasannya yang tahu.

Hm..entahlah. Tampaknya, aplikasi dalam lapangan belum sesuai teori karena masih sulit diterapkan. Namun, Setidaknya sudah ada upaya untuk melakukan transaksi sesuai syariah walau hal itu belum benar-benar sesuai 100%. Saya pun teringat kata-kata dosen saya sewaktu di kelas bahwa penerapan ekonomi syariah masih butuh perjuangan. "Makanya, jadilah pejuang ekonomi syariah", kata beliau. Hm...

Yah, perjuangan. Terutama memperjuangkan agar antara teori dengan praktek di lapangan benar-benar sesuai. :)



Surabaya, 23 Agustus 2015