Sabtu, 20 Desember 2014

Apakah Aset dalam Akad Sukuk Benar-benar ada?

Ada sedikit hal yang ingin saya diskusikan di sini. Atau, kalau bukan diskusikan, apa yang saya tuliskan ini adalah semacam unek-unek atau kegelisahan akademik saya. Hehe.

Jadi begini saudaraku. Saat ini saya sedang belajar tentang sukuk. Saya dapat tema ini dari dosen pengampuku di kelas. Saya mendapat bagian tentang tinjauan fiqih mengenai sukuk dan obigasi konvensional. Kalau obligasi konvesional mungkin sudah dipahami bersama bahwa dalam obligasi konvensional terdapat bunga sehingga bisa disimpulkan bahwa obligasi konvensional itu haram karena mengandung riba.

Lantas untuk sukuk bagaimana? Bukankah disebut-sebut bahwa sukuk ini adalah obligasi yang syariah? Yang sesuai hukum Islam? Atau dengan kata lain, obligasi yang halal?

Sejauh yang saya pahami sampai sekarang, baik obligasi konvesional maupun obligasi syariah (sukuk) merupakan sebuah surat /sertifikat yang dikeluarkan oleh SPV (The Special Purpose Vehicle), sebuah lembaga perwakilan pemerintah yang memiliki hak menerbitkan surat berharga/surat hutang. Cuma bedanya, kalau dalam obligasi konvensional produk yang dikeluarkan disebut sebagai  surat hutang negara, maka dalam obligasi syariah (sukuk) disebut sebagai surat berharga. Dan itulah salah satu penyebab yang membuat obligasi syariah (sukuk) berbeda dengan obligasi konvensional.

Penyebab yang lainnya adalah, ketika SPV mengeluarkan sukuk/obligasi, atau surat/sertifikat berharga (surat hutang) lalu ada masyarakat (investor) yang membelinya, maka dalam obligasi konvensional langsung ditetapkan bahwa investor tersebut akan mendapat bunga sekian persen dari sejumlah uang yang digunakan untuk membeli surat/sertifikat berharga (surat hutang) tersebut. Kegiatan ini mirip dengan seorang nasabah bank yang menyimpan uang di bank, lalu si nasabah mendapat bunga sekian persen dari sejumlah uang yang ia simpan. Nah, bunganya ini termasuk riba dan karena itu haram.

Adapun dalam obligasi syariah (sukuk), si investor tidak mendapatkan bunga. Lalu bagaimana dia mendapat uang tambahan (keuntungan dari berinvestasi)? Dibuatlah akad-akad tertentu sehingga nantinya si investor juga mendapatkan sekian uang sebagaimana dalam obligasi konvensional. Apa saja akad-akadnya? Ada akad ijarah, salam, murabahah, mudharabah, musyarakah, dan istisna’.

Cobalah kita ambil contoh akad ijarah. Jadi, uang yang disetorkan oleh investor kepada SPV untuk membeli sukuk digunakan oleh SPV untuk membayar harga aset secara tunai kepada originator (dalam hal ini pemerintah) yang mana aset tersebut sebelumnya dijual oleh originator kepada SPV. Sehingga, aset tersebut  menjadi hak milik SPV. Lalu SPV ini menyewakan aset tersebut kepada originator dengan kadar sewa tertentu. Karena originator menyewa aset tersebut kepada SPV, ia pun harus membayar uang sewa kepada SPV. Lalu dari hasil sewa tersebut, diberikan kepada para investor sehingga investor mendapatkan pendapatan. Nah, kalau dalam obligasi konvensional pendapatannya berupa bunga, maka dalam sukuk ijarah ini berupa hasil sewa. Baik saya selesaikan dulu kelanjutan dari proses transaksi tadi. Jadi saat maturity, atau saat mau habis akad sukuk ijarah ini (biasanya tidak lama, 1 tahun atau lebih), originator membeli aset dengan harga seperti di awal, dan SPV memberikan uang tersebut kepada investor sebagai tebusan atas sertifikat sukuk.

Pertanyaan kritis yang saya ingin ajukan adalah; dalam prakteknya, apakah asetnya benar-benar ada? Atau, ini hanyalah akal-akalan saja? Nah, kalau memang asetnya ada dan memang benar-benar disewakan, saya kira transaksi ini halal. Tapi kalau ternyata tidak ada, maka transaksi ini sama saja dengan obligasi konvensional, haram. Hanya saja, prosesnya muter-muter dan lebih  jelimet dari obligasi konvensional.

Sekali lagi, apa asetnya benar-benar ada?



Surabaya, 20 Desember 2014

Kamis, 04 Desember 2014

Sekelumit Tentang Sukuk

Sukuk itu apa ya? Mungkin pertanyaan itu yang selama ini ada dalam pikiran kita. Maka dari itulah, untuk mengobati penasaran yang ada akan saya tuliskan sedikit tentang sukuk. Saya ambilkan dari buku “Lembaga Keuangan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis” yang ditulis oleh Nurul Huda dan Mohamad Heykal.

Sukuk berasal dari bentuk jamak dari bahasa Arab ‘sak’ atau sertifikat. Adapun secara istilah sukuk adalah sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.

Terus apa bedanya dengan obligasi konvesional? Pada prinsipnya menurut buku ini, sukuk pada prinsipnya mirip seperti obligasi konvensional. Perbedaannya ialah bunga diganti dengan imbalan dan bagi hasil. Lalu kalau dalam sukuk terdapat transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk. Dan perbedaan yang tidak kalah pentingnya adalah, dalam sukuk terdapat akad atau perjanjian antara pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara Islam agar instrumen keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar, dan maysir.

Lantas apa saja karakteristik sukuk sehingga bersifat inik dan khas? Ada 6 karakteristik yang ditulis dalam buku ini. Yaitu:

1.Merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial title)
2. Pendapatan berupa imbalan (kupon), margin, dan bagi hasil, sesuai jenis akad yang digunakan.
3. Terbebas dari unsur riba, gharar, dan maysir.
4. Penerbitannya melalui special purpose vehicle (SPV)
5. Memerlukan underlying asset
6. Penggunaa proceeds harus sesuai prinsip Islam.

Terus mengapa sukuk ini harus diterbitkan? Tujuannya ialah:
1.     Memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara.
2.     Mendorong pengembangan pasar keuangan Islam.
3.     Menciptakan benchmark di pasar keuangan Islam.
4.     Siversifikasi basis investor.
5.     Mengembangkan alternatif instrumen investasi.
6.     Mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara.
7.     Memanfaatkan dana-dana masyarakat yang belum terjaring oleh sistem perbankan konvensional.

Lalu pertanyaan terakhir, apa saja keunggulan sukuk? Kelebihan sukuk dibandingkan instrumen keuangan lainnya ialah:
1.     Memberikan penghasilan berupa imbalan atau nisbah bagi hasil yang kompetitif.
2.     Pembayaran imbalan dan nilai nominal sampai dengan sukuk jatuh tempo dijamin oleh pemerintah.
3.     Dapat diperjual belikan di pasar sekunder.
4.     Memungkinkan diperolehnya tambahan penghasilan berupa margin (capital gain).
5.     Aman dan terbebas dari riba (usury), gharar (uncertainty), dan maysir (gambling).
6.     Berinvestasi sambil mengikuti dan melaksanakan Islam.

Baik, semoga bermanfaat :)



Surabaya, 4 Desember 2014 

Rabu, 03 Desember 2014

Belum Tahu Sejarah Asuransi?

Kapan sejarah asuransi dimulai? Kalau menurut buku berkudul “Lembaga Keuangan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis” yag ditulis oleh Nurul Huda dan Mohammad Heykal, tepatnya pada halaman 155-158, konsep asuransi sebenarnya sudah dikenal sejak zaman sebelum Masehi di mana manusia pada waktu itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, antara lain kekurangan bahan Makanan.

 Uniknya, penulis buku ini kemudian memberikan contoh pada peristiwa nabi dan Yusuf dan Raja (Fir’aun) yang berkuasa pada wakt itu. Waktu itu, raja bermimpi yang diartikan oleh nabi Yusuf bahwa selama tujuh tahun negeri Mesir akan mengalami panen yang berlimpah dan kemudian diikuti oleh masa paceklik selama tujuh tahun berikutnya. Untuk berjaga-jaga terhadap bencana kelaparan tersebut, Raja Fir’aun mengikuti saran nabi Yusuf dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen pada tujuh tahun pertama sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik. Dengan demikian, pada masa tujuh tahun paceklik rakyat Mesir terhindar dari resiko bencana kelaparan hebat yang melanda seluruh negeri. Menurut penulis buku ini, peristiwa ini adalah bagian dari bentuk asuransi karena ada merupakan kegiatan yang berupaya untuk menyelamatkan jiwa dari ancaman kematian.

Lalu pada tahun 2000 sebelum masehi telah ditemukan sebuah lembaga bernama Collegia Tennirium yang dibentuk oleh saudagar dan aktor di Italia. Lembagai ini disebut-sebut sebagai lembaga mirip asuransi karena bertujuan membantu para janda dan anak-anak yatim dari para anggota yang meninggal.

Kemudian berdirilah kumpulan serupa, yaitu Collegia Nitium yang beranggotakan budak belian yang diperbantukan pada ketentaraan Kerajaan Romawi. Setiap anggota mengumpulkan sejumlah iuran dan jika salah seorang anggota mengalami nasib sial (unfortunate), maka biaya pemakamannya akan dibayar oleh anggota yang bernasib baik (fortunate) dengan menggunakan dana yang telah dikumpulkan sebelumnya.

Beratus-ratus tahun kemudian, yaitu pada zaman Alexander agung (336-323 sebelum masehi) ada usaha manusia yang mirip dengan asuransi, yaitu upaya dari beberapa kota praja untuk mengisi kasnya dengan cara meminjam uang dari perseorangan dengan syarat-syarat sebagai berikut: (i) jumlah uang pinjaman diberikan sekaligus kepada kota praja oleh yang meminjamkan, misalnya 6.000 drachmen; (ii) setiap bulan kota praja membayar sejumlah sejumlah 50 drachmen kepada yang meminjamkan uang hingga ia wafat; dan (iii) ketika ia wafat, kepada ahli warisnya atau keluarganya, kota praja akan memberikan 200 drachmen untuk biaya pemakaman.

Lalu bagaimana dengan literatur Islam? Disebutkan dalam buku ini bahwa dalam literatur Islam dikenal dengan konsep “aqilah” yang sering terjadi sebelum Islam datang dan diakui dalam literatur hukum Islam. Bagaimana konsepnya? Jika aada salah satu anggota suku Arab pra-Islam melakukan pembunuhan, maka dia (si pembunuh) dikenakan diyat dalam bentuk blood money yang dapat ditanggung oleh anggota suku yang lain sebagai kompensasi saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh disebut sebagai aqilah. Lalu mereka mengumpulkan dana (al-kanzu) yang mana dana tersebut  untuk membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan tidak sengaja.

Selain Aqilah, dikenal juga istihlah al-muwalat (perjanjian jaminan); yaitu penjamin menjamin seseorang yang tidak memiliki waris dan tidak diketahui ahli warisnya. Penjamin setuju untuk menanggung bayaran dia, jika orang yang dijamin tersebut melakukan jinayah. Apabila orang yang dijamin mati, penjamin boleh mewarisi hartanya sepanjang tidak ada warisnya.

Selain Aqilah dan al-muwalat ternyata masih ada istilah lain, yaitu at-tanahud, yaitu makanan yang dikumpulkan dari para peserta safar kemudian dicampur menjadi satu. Makanan tersebut dibagikan pada saatnya kepada mereka, kendati mereka mendapatkan porsi yang berbeda-beda. Rasulullah Saw pernah bersabda;

“Marga Asy’ari (Asy’ariyyin) ketika keluarganya mengalami kekurangan bahan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka memiliki dalam satu kumpulan kemudian dibagi di antara mereka secara merata. Mereka adalah bagian dari kami dan kami adalah bagian dari mereka”.

Dalam kasus ini, makanan yang diserahkan bisa jadi sama kadarnya atau berbeda-beda. Begitu halnya makanan yang diterima, bisa jadi sama porsinya dan bisa berbeda-beda.

Dalam buku ini kemudian disebutkan bahwa orang pertama di kalangan fuqaha’ yang memberi komentar terhadap masalah asuransi adalah Ibnu Abidin. Ia merupakan ulama darii kalangan hanafi yang hidup pada tahun 1784-1836 M. Tulisannya tentang asuransi ini bisa dibaca pada bukunya yang berjudul hasyiyah Ibnu Abidin pada bab jihad pasal Isti’man al-kafir.

Lalu pada bagian akhir tentang sejarah asuransi, penulis buku ini menuliskan bahwa  bahwa sesuai dengan rekomendasi Fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang pertama kali bersidang pada 1976 M di Mekkah dengan dihadiri oleh 200 ulama, diputuskan konsep Asuransi Kerja Sama (at-ta’min at-ta’awuny). Kemudian dikuatkan lagi pada Majma’ al-Fiqh al-Islamy yang bersidang pada 28 Desember 1985 di Jeddah, juga memutuskan pengharaman Asuransi Jenis Perniagaan. Majma’ Fiqih juga secara ijma’ mengharuskan asuransi jenis kerja sama (ta’awuni) sebagai alternatif asuransi Islam menggantikan jenis asuransi konvensional. Majma’ fiqih menyerukan agar seluruh umat Islam dunia menggunakan asuransi ta’awwun.

Hm..baiklah, inilah tulisan yang saya nukilkan dari buku luar biasa ini. Semoga bermanfaat untuk kita semua. Amiin.




Panceng, 3 Desember 2014

Sabtu, 29 November 2014

Asuransi Islam? Apa Itu?

Ada yang masih asing dengan istilah asuransi ataupun asuransi Islam? Tenang saja, kali ini  saya akan sedikit menukil penjelasan tentang asuransi dan asuransi Islam dari sebuah buku berjudul “Lembaga Keuangan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis” yang ditulis oleh Nurul Huda dan Mohammad heykal.

Diterangkan dalam buku tersebut bahwa kata suransi bisa berasal dari kata Belanda, Parancis, Latin, atau Inggris. Kalau berasal dari bahasa Belanda, maka asuransi disebut “assurantie” yang terdiri dari asal kata “assaradeur” yang berarti penanggung dan “geassureede” yang berarti tertanggung.

Kalau dalam bahasa Prancis disebut “assurance”yang berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi. Adapun dalam bahasa Latin disebut “assecurare” yang berarti meyakinkan orang.

Bagaimana dengan bahasa Inggris? Dalam bahasa ini, asuransi ada dua macam; yaitu “insurance” dan “assurance”. Kalau “insurance”  berarti menanggung sesuatu yang mungin atau tidak mungkin terjadi. Kalau “assurance” bermakna menanggung sesuatu yang pasti terjadi.

Itu kan pengertian secara etimologi atau bahasa? Lantas bagaimana dengan pengertian asuransi secara istilah? Nah, dalam buku pengertian asuransi langsung dinukilkan dari Undang-Undang milik Indonesia. Yang pertama diambil dari UU No. 2 tahun 1992, dan yang kedua diambil dari Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246.

Menurut UU No. 2 tahun 1992, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Wah, pengertian menurut UU ini agak ribet dan panjang juga ya. Kalau menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 gimana? Menurut-“nya”, Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian yang dengan perjanjian tersebut penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya, karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.

Hm..panjang juga ya..Masih belum paham?

Tenang, penulis buku tersebut kemudian menyimpulkan bahwa secara umum, pengertian asuransi adalah perjanjian antara penanggung (dalam hari ini perusahaan asuransi atau reasuransi) dengan tertanggung (peserta suransi) di mana penanggung menerima pembayaraan premi dari tertanggung. Dan penanggung berjanji membayarkan sejumlah uang atau dana pertanggung manakala: (1) Mengalami kerugian, kerusakan, atau hilangnya suatu barang atau kepentingan yang dipertanggungkan karena suatu peristiwa yang tidak pasti. (2) Berdasarkan hidup atau hikangnya nyawa seseorang.

Masih panjang juga ya. Tenang, tenang. Si penulis buku masih memberikan pengertian yang lebih simpel. Ia mengatakan bahwa asuransi adalah perjanjian peralihan resiko, pihak penanggung mengambil alih resiko tertanggung, dan sebagai kontraprestasinya tertanggung berkewajiban membayar premi.

Lantas kalau asuransi Islam itu apa?

Adapun asuransi dalam islam berasal dari bahasa Arab; yaitu dari kata at-ta’min, takaful, tadhamun, dan al-istihad. Tapi yang paling populer, kata penulis buku ini,  adalah 3 yang pertama, adapun al-istihad hampir-hampir tidak pernah dikenal (digunakan).

At-ta’min berasal dari kata amana yang memiliki arti perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut. Asuransi dinamakan at-ta’min karena pemegang polis sedikit banyak telah merasa aman setelah mengikatkan dirinya sebagai anggota atau nasabah asuransi. Pengertian at-ta’min yang alain, kata penulis, adalah sseseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan agar pemegang polis atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti rugi terhadap hartanya yang hilang.

Adapun takaful berasal dari kata kafala yang berarti menanggung. Kata kafala ini bisa ditemukan dalam al-Quran; yaitu dalam Ali Imron ayat 44, Thaha ayat 40, al-Qashas ayat 15,  al-Qashash ayat 12, dan an-nahl ayat 21.

Penulis kemudian menukil dari penulis lain yang bernama Dewi, bahwasanya apabila kita memasukkan asuransi takaful ke dalam lapangan hidup muamalah, maka takaful dalam arti muamalah  mengandung makna saling menanggung resiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko masing-masing.

Selain disebut a-ta’min dan takaful, asuransi Islam dinamai juga tadhamun. Tadhamun adalah solidaritas atau disebut juga saling menanggung hak atau jewajiban yang berbalasan.

Ada lagi yang belum disebutkan dan memang tidak populer dan hampir tidak digunakan di kalangan masyarakat, yaitu al-istihad. Perlu tahu nggak? Perlu lah. Al-Istihad adalah permohonan perjanjian, karena para nasabah asuransi Islam pada dasarnya dan dalam praktiknya adalah mengajukan permohonan untuk saling menjamin di antara sesama anggota dengan melalui perantaraan asuransi.

Di akhir tulisannya mengenai pengertian asuransi dan suransi Islam ini, penulis kemudian menyimpulkan bahwa semua  bentuk kata, pengertian, dan tujuan dari semua kata itu sama. Menurutnya, yang dimaksud dengan asuransi Islam adalah asuransi yang sumber huku, akad, jaminan (resiko), pengelolaan dana, investasi, kepemilikan, dan lain sebagainya berdasarkan atas nilai dan prinsip syariah.

Namun tidak cukup di situ, sang penulis kemudian menukilkan definisi asuransi Islam yang dikeluarkan oleh Dewan Islam Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Diterangkan bahwa asuransi Islam (ta’min, takaful, dan tadhammun) adalah usaha saling melindungi dan saling menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad pertukaran yang sesuai dengan syariah.

Hm..baiklah, semoga apa yang saya nukilkan ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.


Surabaya, 30 November 2014


Rabu, 26 November 2014

Perbedaaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvesional

Saudaraku, kali ini saya akan menuliskan tentang perbedaan atau perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional. Materi ini saya ambil dari buku berjudul “Akuntansi Keuangan Syariah” yang ditulis oleh Rifki Muhammad.

Sebenarnya, dalam buku yang diterbitkan oleh P3EI Press pada halaman 64-65 ini terdapat 16 perbedaan. Namun saya hanya akan menyoroti beberapa perbedaan yang menurut saya sangat penting. Nggak apa-apa ya :)

Yang pertama adalah konsep. Ini yang paling penting menurut saya. Konsep antara asuransi syariah dan asuransi konvensional sungguh berbeda. Kalau dalam asuransi konvensional, yang dimaksud dengan asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan pergantian kepada tertanggung. Adapun dalam asuransi syariah, yang dimaksud asuransi adalah sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’. Jadi dalam suransi syariah lebih ditekankan konsep tolong-menolong.

Yang kedua adalah asal-asul. Asuransi konvensional berasal dari masyarakat babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun 1668 M di coffe house London berdirilah Lioyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional. Adapun asuransi syariah berasal dari aqillah, yaitu suatu kebiasaan suku arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disahkan langsung oleh Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang di dalam konstitusi pertama di dunia (konstitusi Madinah) yang dibuat langsung Rasulullah.

Yang ketiga adalah sumber hukum. Dalam asuransi konvensional, sumber yang diambil adalah pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alamiyah, dan contoh sebelumnya. Sedangkan asuransi syariah bersumber dari wahyu ilahi. Sumber hukum dalam syariat Islam adalah al-Quran, sunnah, ijma’, fatwa sahabat, istihsan, tradisi, dan mashalih murshalah.

Selanjutnya, dalam asuransi konvesional terdapat maisir, gharar, dan riba. Sedangkan dalam asuransi syariah tidak ada hal-hal semacam itu. Selain itu, dalam asuransi konvensional tidak ada DPS (Dewan Pengawas syariah), sementara dalam suransi syariah hal it diperlukan karena berfungsi sebagai pengawas pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek-praktek muamalah yang bertentangan dengan prinsip syariah.

Nah, yang tidak kalah pentingnya adalah akad. Kalau dalam asuransi konvensional akadnya adalah akad jual beli, sedangkan dalam asuransi syariah tidak. Lantas apa? Akadnya adalah akad tabarru’ dan akad tijarah (akad komersil).

Ada lagi perbedaan yang sangat penting, yaitu mengenai kepemilikan dana. Dalam asuransi konvensional, dana yang terkumpul berasal dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan. Sementara dalam asuransi syariah dana yang terkumpul merupakan milik peserta (shahibul maal). Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) dalam mengelpla dana tersebut. Adapun dari sisi keuntungan juga terdapat perbedaan. Kalau dalam asuransi konvensional seluruh keuntungan diambil oleh perusahaan, sedangkan dalam asuransi syariah keuntungan dibagi dua (bagi hasil) dengan peserta. Berbeda sekali bukan?

Baik, hal penting lainnya yang menurut saya harus ditulis di sini adalah misi dan visi yang dimiliki. Dalam asuransi konvensional, misinya adalah misi ekonomi dan sosial saja. Sedangkan dalam asuransi syariah, misi yang diemban adalah misi aqidah, misi ibadah, misi ekonomi, dan misi pemberdayaan umat.

Hebat kan asuransi syariah jika dibandingkan dengan asuransi konvensional :)



Panceng, 27 November 2014

Selasa, 18 November 2014

Ekonomi Berbasis Madrasah "Melawan" MEA

Saudaraku, hari ahad kemarin saya mengikuti acara stadium general (perkuliahan umum) yang diadakan di STAIL (Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman al-Hakim) Pesantren Hidayatullah Surabaya. Temanya adalah, “Menyongsong Kebangkitan Ekonomi Berbasis Pesantren dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015”. Adapun pembicaranya adalah Dr. Iskandar Ritonga  M.Ag yang merupakan kaprodi ekonomi syariah UINSA (Universitas Negeri Sunan Ampel) Surabaya. Tahukah engkau sadaraku, beliau adalah dosenku di kelas. Beliau mengajar Metodologi Penelitian Ekonomi Islam.

Ia membuka seminar dengan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan MEA. MEA adalah singkatan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN. Adapun anggota ASEAN itu ada 10 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, Filipina, Vietnam, Laos, dan Kamboja.


10 negara ASEAN ini bersepakat bahwa mulai tahun 2015, mereka akan memberlakukan pasar bebas, pasar tunggal di ASEAN. Jadi nanti tidak akan ada lagi kesulitan-kesulitan menjual barang dari satu negara ASEAN ke negara ASEAN lainnya. Tidak akan ada lagi peraturan yang memberatkan dan tak lagi ada biaya khusus yang sangat mahal. Ekspor dan impor dibuat sangat lentur seolah menjual di negara sendiri. Selain itu, tenaga kerja di salah satu negara ASEAN bisa bekerja di negara ASEAN lainnya dengan sangat mudah. Misalnya orang Filipina bekerja di Indonesia, atau sebaliknya.

Pak Ritonga kemudian menjelaskan ciri-ciri MEA. Ada tujuh ciri-ciri MEA, tapi saya hanya 5 ciri-ciri yang sempat saya catat. Yaitu Arus bebas barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus bebas modal, dan tenaga terampil.

Apa saja keunggulan bangsa Indonesia? Nah, pak Ritonga menjawab pertanyaan ini dengan rinci sebagai kesiapan bangsa ini menghadapi MEA. Ada 6 keunggulan bangsa Indonesia menurutnya. Pertama, Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah ruah. Kedua, Memiliki surplus demografi-angkatan kerja produktif. Ketiga, keuntungan Geografis (berada di antara 2 benua, 2 samudera dan berada pada kawasan tropis-hasil hutan, tanaman dan hewan). Keempat, memiliki keragaman budaya. Kelima, memiliki kekayaan pariwisata yang mempesona. Keenam, pertumbuhan dan kemajuan perbankan nasional (termasuk perbankan syariah) yang sangat atraktif di antara negara-negara ASEAN.

Akan tetapi, kata dosen yang berasal dari Sumatera ini, Indonesia juga mengalami persoalan dalam menghadapi MEA. Apa saja persoalan yang dimaksud? Yaitu kualitas dan kapasitas SDM yang masih lebih rendah dibandingkan sebagian besar negara-negara ASEAN. Infrastruktur (sarana dan prasarana) yang masih minim, dan minimnya  jiwa kewirausahaan dalam diri sebagian besar rakyat Indonesia.

Apalagi, lanjut pak Ritonga, saat ini semua negara mendapat tantangan global. Misalnya kecepatan perkembangan iptek, perkembangan informasi yang tak mengenal ruang dan waktu, fleksibilitas dalam berinteraksi, kebutuhan layanan yang profesioanl, perkembangan bisnis yang berorientasi pada networking, mobilitas orang dan ilmu pengetahuan, fleksibilitas dalam berinteraksi, dan kembalinya kehidupan pada bahan yang alami. Maka dari itu, bangsa Indonesia perlu mempersiapkan persiapan khusus menghadapi tantangan ini.

Namun ada prediksi yang mencengangkan tentang masa depan perekonomian Indonesia. Pak Ritonga menyebutkan bahwa prediksi ini dilakukan oleh Mckinsey Global Institution. Menurut Mckinsey Global Institution, pada tahun 2030, Indonesia akan berada pada peringkat ke-7 terbesar dunia. Mengalahkan Jerman dan Inggris. Lalu pada tahun 2050, Indonesia diprediksi mendapat peringkat ke-3 terbesar dunia. Apakah prediksi ini benar? Kita lihat nanti.

Ia kemudian membahas tentang potensi ekonomi berbasis madrasah. Madrasah, katanya, sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki potensi yang besar. Ia mencontohkan pesantren Sidogiri yang memiliki omset triliunan rupiah. Koperasi milik Sidogiri setara atau malah lebih besar dibandingkan dengan sebuah bank nasional. Coba seluruh pesantren bisa seperti itu, bukankah ini potensi besar.

Selanjutnya ia menyoroti berbagai hal dari kelebihan lembaga madrasah dibandingkan dengan sekolah yang lain; termasuk output yang dihasilkan. Misalnya saja tradisi pesantren yang sangat bagus untuk membentuk integritas seorang SDM yang unggul; yaitu mandiri, tolong menolong, disiplin, berani menderita, dan lain-lain.

Jadi, ekonomi berbasis madrasah punya peran yang signifikan untuk kemajuan ekonomi di Indonesia, terutama dalam menghadapi MEA yang sudah di depan mata.

Baiklah, inilah tulisan yang bisa saya sampaikan kali ini. Semoga bermanfaat. Dan semoga saya bisa menghasilkan tulisan yang lebih baik pada waktu yang lain. Amiin.




Panceng, 3 November 2014

Senin, 17 November 2014

Perda Syariah belum Menyentuh Ekonomi Syariah

Saudaraku, pada hari kamis kemarin (6/11/14), saya mengikuti sebuah acara seminar nasional yang diisi oleh orang-orang hebat dalam dunia ekonomi syariah. Ada Syafi’i Antonio, Adiwarman A. Karim, dan lain-lain.  Sponsornya pun tidak main-main, Bank Indonesia. Ya, sponsor utamanya adalah Bank Indonesia. Dan ternyata, agenda Bank Indonesia ini tidak hanya seminar, melainkan juga banyak agenda lainnya seperti lomba-lomba, bazar, dan lain-lain.

Namun kali ini saya hanya akan sedikit mengupas tentang apa yang disampaikan oleh Dr. Syafi’i Antonio. Tema yang ia sampaikan adalah “Ekonomi Syariah sebagai Solusi Permasalahan Ekonomi”.

Pakar ekonomi syariah Indonesia ini menyampaikan bahwa selama bertahun-tahun telah terjadi 32 krisis di dunia ini. Itu artinya ada permasalahan serius yang melanda sistem ekonomi dunia. “What happening with the System?”, katanya.


Sistem ekonomi kapitalisme, lanjutnya, memiliki dampak kerusakan yang luar biasa. Terjadi ketidakmerataan pendapatan dalam perekonomian masyarakat. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin sangat lebar. Walaupun pada satu sisi orang-orang kaya di dunia berjumlah banyak dengan jumlah kekayaan yang sangat melimpah, namun di sisi yang lain teramat banyak orang-orang yang hidup di bawah kemiskinan.

“Dari 131 negara di dunia, 1 dari 5 orang hidup di bawah tekanan kemiskinan”, katanya.

Lantas, apa solusinya? Ekonomi Syariah atau Ekonomi Islam, itulah solusi yang ditawarkan ketua STIE Tazkia ini.

Sebelum menutup seminar, ada ungkapan menarik dan penting yang patut saya taruh di sini dari apa yang ia sampaikan. Ia menyampaikan bahwa perda syariah yang ada di Indonesia belum menyentuh ekonomi syariah. Perda syariah yang ada hanya mengatur larangan minum keras, larangan berzina, dan semisalnya. Bahkan, peraturan yang ada di Aceh sebagai daerah istimewa pun tak menyentuh sama sekali perda syariah.

Makanya dalam seminar ini, Syafii Antonio mengulang-ulang kata “political commitment”. Artinya, peran pemerintah sangat penting dalam rangka memajukan perekonomian bebasis syariah di Indonesia.



Surabaya, 13 November 2014 

Seluk Beluk Inflasi

Saudaraku, saya akan menuliskan apa yang saya baca dari buku  Adiwarman A. Karim yang berjudul “Ekonomi Makro Islami”. Saya membaca bab 7 dari halaman 133-143. Judul dari bab 7 ini adalah “Inflasi: Stabilitas Nilai Uang Domestik”.  Jadi memang tulisan ini difokuskan untuk membahas tentang inflasi.

Adiwarman A. Karim membagi tulisannya pada bab 7 ini menjadi 3 bagian. Sejarah inflasi, teori inflasi konvesional, dan teori inflasi Islam.

 Ketika membahas tentang sejarah inflasi, ia memulai sejarah inflasi sejak  zaman Byzantium sampai abad 20. Kesimpulan dari tulisan ini ialah, inflasi terjadi di manapun, terhadap mata uang pun dan pada periode kapanpun. Bahkan termasuk mata uang yang terbuat dari emas (dinar)  yang nilainya disebut-sebut mampu bertahan, tetap bisa mengalami inflasi. Hanya saja memang, kalau mata uang yang nilai istrinsiknya rendah seperti uang kertas, dll memiliki potensi inflasi lebih tinggi.

Pada bagian kedua yang membahas tentang teori inflasi konvensional, pak karim memberikan definisi inflasi yang dikemukakan oleh ekonom modern. Inflasi adalah kenaikan yang menyeluruh dari jumlah yang harus dibayarkan (nilai unit penghitungan moneter) terhadap barang-barang/komoditas dan jasa. Adapun deflasi (deflation) adalah sebaliknya, yaitu penurunan nilai unit penghitungan moneter terhadap barang-barang/komoditas dan jasa.

Kamis, 13 November 2014

Tentang Dinar dan Dirham Ditinjau dari Fiqih

Saudaraku, saya sekarang ini saya akan menuliskan sesuatu yang mungkin Cuma sedikit. Tapi tak mengapa, saya tetap berharap apa yang saya tuliskan ini bermanfaat untuk kita semua. Amiin.

Saya tadi membaca buku karangan Adiwarman A. Karim yang berjudul “Ekonomi Makri Islami”. Tapi saya lebih tertarik membaca bagian belakang yang berupa artikel dan ternyata ditulis oleh orang lain yang bernama Hasanuddin M.Ag. Tulisan itu diletakkan pada sub-bab  Appendiks Bab 4 berjudul “Sejarah Uang dalam Islam”.

Menarik apa yang dituliskan dalam artikel ini. Disebutkan bahwa uang dalam Islam memiliki banyak nama. Ada nuqud, atsman, fulus, sikkah, dan umlah. Padahal yang saya tahu Cuma dua, yaitu nuqud dan fulus.

Ada yang lebih menarik dalam tulisan ini ketika menyoroti dinar dan dirham dari segi fiqih. Ada dua kelompok besar dalam masalah ini.

Ada yang berpendapat bahwa emas dan perak (dinar dan dirham) merupakan ketetapan dari Allah untuk dijadikan uang dalam Islam. Adapun selain dinar dan dirham, tidak diperbolehkan. Ada 6 argumen yang disampaikan oleh mereka.

 Kelompok kedua berpendapat bahwa uang tidak harus menggunakan dinar dan dirham, karena uang adalah persoalan tradisi dan praktik yang digunakan oleh masyarakat dan tidak terbatas hanya pada materi atau bahan tertentu. Argumen yang disampaikan juga ada enam.

Lalu pada kesimpulan, penulis memilih pendapat yang kedua, yaitu uang tidak harus berupa dinar dan dirham (terbuat dari emas dan perak). Ada empat argumen yang disampaikan penulis. Salah satu argumennya adalah, penggunaan emas dan perak sebagai uang ternyata hanya merupakan eksperimen dan praktik yang sesuai dengan perkembangan. Selain itu, penggunaan uang pun telah mengalami berbagai perkembangan sejak sebelum penggunaan emas dan perak; dan tidak ada larangan baik dari al-Quran maupun hadits untuk menggunakan uangg dengan bahan bukan emas dan perak sepanjang bisa berfungsi sebagai uang.




Surabaya, 13 November 2014

Kamis, 11 September 2014

Istilah-Istilah dalam Ekonomi Syariah (B)



Saudaraku, dalam pelajaran ekonomi syariah atau ekonomi Islam terdapat istilah-istilah yang mungkin kita belum pahami. Maka dari itulah, saya menuliskannya di sini sehingga teman-teman yang ingin mengetahuinya bisa melihat dan membacanya di sini. 

Saya nukilkan dari sebuah buku yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin M.Ag, guru besar Ekonomi Islam UIN SUSKA Riau. Buku ini berjudul “ Ekonomi Islam; Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara, dan Pasar”.

Berikut istilah-istilah tersebut yang saya urut berdasarkan huruf abjad. Dari A sampai Z.

B

#Bursyah Auraqi Maliyah
Bursa efek (stock exchange). Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawar dan jual beli efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdengarkan efek di antara mereka.

#Burshah
Bursa; tempat untuk memperjualbelikan sekuritas, valuta asing, atau barang yang dilakukan secara teratur.

#Bunuk Ribawiyah
Bunuk bentuk plural dari bank, sedang ribawiyah merupakan sifat dari bank itu. Bunuk ribawiyah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan aturan-aturan umum.

#Bithaqah al-Madin
Kartu debit (debit card)

Senin, 08 September 2014

Apakah Bunga Bank Sama dengan Riba?


Akhir-akhir ini, banyak pertanyaan dari masyarakat tentang status hukum bunga bank. Apakah bunga bank sama dengan riba sehingga hukumnya haram? Untuk mengetahui jawabaan itu kita perlu merujuk kepada pendapat dan fatwa para ulama.
Di sini saya cantumkan fatwa para ulama mengenai hukum bunga bank yang saya nukil dari buku berjudul “Ekonomi Makro Islam; Pendekatan Teoritis” ditulis oleh Nurul Huda, dkk:
1.    Muktamar II Lembaga Riset Islam Al-Azhar. Muktamar ini dilaksanakan pada bulan Mei tahun 1965 di Kairo, Mesir. Dihadiri oleh berbagai ulama dari 35 negara Islam. Mereka menyepakati beberapa hal, di antaranya adalah: “Bunga (interest) dari semua pinjaman, hukumnya riba dan diharamkan”.

Selasa, 02 September 2014

Istilah-Istilah dalam Ekonomi Syariah (A)


Saudaraku, dalam pelajaran ekonomi syariah atau ekonomi Islam terdapat istilah-istilah yang mungkin kita belum pahami. Maka dari itulah, saya akan menuliskannya di sini sehingga teman-teman yang ingin mengetahuinya bisa melihat dan membacanya di sini.
Saya nukilkan dari sebuah buku yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin M.Ag, guru besar Ekonomi Islam UIN SUSKA Riau. Buku ini berjudul “ Ekonomi Islam; Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara, dan Pasar”.
Berikut istilah-istilah tersebut yang saya urut berdasarkan huruf abjad. Dari A sampai Z.
A
1.   Azmah Iqtishadiyah
Krisis ekonomi, periode berakhirnya suatu kemakmuran, ditandai oleh penurunan pertumbuhan ekonomi.
2.   Auraq Maliyah
Sekuritas, bukti utang piutang atau bukti kepemilikan modal yang dapat dipindahtangankan; surat berharga tersebut dapat berupa saham istimewa atau saham biasa.

Senin, 01 September 2014

Macam-macam Riba

Agar hidup manusia penuh berkah Allah memberikan rambu-rambu. Salah satu rambu-rambu itu adalah tidak melakukan praktik riba dalam perdagangan. Hendaknya seorang pedagang senantiasa berkap adil, baik, kerjasama, amanah, tawakkal, qana’ah, sabar, dan tabah.
Riba adalah praktik kotor yang akan menyebabkan kezaliman dan membuat resah  masyarakat. Maka dari itulah Allah melarang praktik riba. Dia berfirman dalam Ali Imron ayat 130, “Hai orang-orang berfirman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertawakkallah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Tidak cukup di situ, Allah memberikan peringatan keras dan mengharamkannya. “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Ali Imron, ayat 275).
Menurut para ulama fikih, riba ada 4 macam. 

Kamis, 28 Agustus 2014

Target: Menulis Setiap Hari di Blog ini

Saudaraku, saya berencana untuk banyak menulis di blog ini seputar dunia ekonomi dalam Islam. Apalagi, selain bercita-cita menjadi pengusaha muslim yang sukses saya juga memutuskan mengambil jurusan ekonomi syariah di UIN Sunan Ampel Surabaya. Padahal, awalnya saya bermaksud mengambil jurusan aqidah di ISID Gontor. Tapi karena berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan lembaga, akhirnya saya mengambil jurusan ekonomi syariah di UINSA Surabaya. Maka dari itulah, saya ingin ikut berkarya dalam menghasilkan tulisan yang (semoga) bermanfaat bagi pembaca dalam hal ekonomi dalam Islam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. 

Semoga rencana saya ini terealisasi dengan lancar. Bahkan, kalau mampu saya bisa menulis di blog ini setiap hari. Walau hampir mustahil bisa menulis setiap hari di blog ini, tapi saya tetap menargetkan untuk menulis setiap hari. Semoga bisa. :)


Surabaya, 28 Agustus 2014