Sabtu, 22 Agustus 2015

Teori dan Praktek di Bank Syariah masih Berbeda?

Saudaraku, saya tertarik untuk menulis tentang berbedanya antara konsep yang ditawarkan oleh para teoritis dengan apa yang dilakukan oleh para praktisi, khususnya dalam bidang perbankan syariah.

Beberapa hari yang lalu, saya mendatangi salah satu bank syariah di Surabaya untuk mengurus ATM saya yang hilang. Setelah urusan selesai, saya membaca brosur yang berisi penawaran untuk melakukan salah satu produk yang ada di bank tersebut, yaitu deposito mudharabah. Saya sempat bertanya kepada teller yang waktu itu bertugas dan saya mendapatkan jawaban yang membuat saya bertanya-tanya dalam hati.

Begini, sebagaimana diketahui bahwa deposito adalah tabungan berjangka. Bisa satu bulan, 6 bulan, 1 tahun, dan lain-lain. Setelah habis jangka waktu itu, nasabah bisa mengambil tabungannya atau juga bisa memperpanjang.

Nah, untuk di bank syariah, karena tidak ada sistem bunga maka dilakukan akad jual beli. Dalam bank yang saya bicarakan di atas menggunakan akad mudharabah, yaitu sistem bagi hasil.

Dalam teori, misalnya saya sebagai nasabah ingin mengikuti transaksi deposito mudharabah ini, maka saya disebut sebagai shahibul maal alias pemilik dana, sedangkan bank disebut sebagai mudharib atau pihak yang mengelola dana tersebut. Hanya saja karena bank tidak diperbolehkan dalam peraturan untuk melakukan suatu usaha (dan memang fungsi bank hanyalah sebagai pihak perantara), maka bank kemudian bekerjasama dengan pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa berusaha perusahaan atau perorangan. Nah, uang yang saya serahkan ke bank tadi kemudian oleh bank diserahkan kepada suatu perusahaan untuk digunakan sebagai modal dalam usaha. Setelah uang itu digunakan untuk usaha, maka diperolehlah keuntungan, dan keuntungan itu kemudian dibagi sesuai dengan kesepakatan. Bisa 50: 50, 60:40, atau yang lainnya. Begitulah menurut teori yang ditawarkan oleh para akademisi.

Namun, ketika saya tanya kepada teller tersebut, apakah saya sebagai shahibul maal (pemilik dana) boleh mengetahui jenis usaha yang dikelola oleh pihak ketiga? Ternyata teller itu menjelaskan bahwa sebagai nasabah kita tidak perlu mengetahui hal itu. Kita nanti hanya mengetahui berapa rupiah keuntungan yang kita dapatkan.

Sepulang dari bank, saya pun berdiskusi dengan teman tentang hal ini. Teman saya pun mengatakan bahwa sudah menjadi rahasia umum, bahwa pihak bank sebenarnya tidak melakukan kerjasama dengan pihak ketiga untuk melakukan usaha. Menurutya, pihak bank memberikan keuntungan nasabah melalui transaksi lain yang dilakukan oleh bank, yaitu akad murabahah. Jadi keuntungan yang didapat dari transaksi murabahah, kemudian dijadikan keuntungan untuk transaksi mudharabah. Wah, wah, wah, berarti sebenarnya masih belum syariah dong. Semestinya kan keuntungan yang diberikan kepada nasabah dalam deposito mudharabah harus berasal dari sebuah usaha.

Sebenarnya saya pribadi masih belum mengetahui secara pasti, apakah memang seperti itu realitanya. Hanya saja, ketika saya berdiskusi dengan teman yang lain, ia mengatakan bahwa ada kemungkinan mengapa teller tersebut menjelaskan seperti demikian. Pertama, karena memang tidak usaha semacam itu (sebagaimana pendapat teman saya yang pertama). Kedua, teller itu tidak tahu mengenai hal itu karena hanya atasannya yang tahu.

Hm..entahlah. Tampaknya, aplikasi dalam lapangan belum sesuai teori karena masih sulit diterapkan. Namun, Setidaknya sudah ada upaya untuk melakukan transaksi sesuai syariah walau hal itu belum benar-benar sesuai 100%. Saya pun teringat kata-kata dosen saya sewaktu di kelas bahwa penerapan ekonomi syariah masih butuh perjuangan. "Makanya, jadilah pejuang ekonomi syariah", kata beliau. Hm...

Yah, perjuangan. Terutama memperjuangkan agar antara teori dengan praktek di lapangan benar-benar sesuai. :)



Surabaya, 23 Agustus 2015   

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan jika mau komentar :)